Segelas air
hangat.
Seorang
perempuan menggenggam segelas air hangat dengan erat, seolah dari sanalah semua
kekuatan dirinya berasal. Atau mungkin Ia hanya sekedar ingin menyalurkan kehangatan supaya menjalar ke
setiap centi tubuhnya. Dihirupnya uap yang terkepul dalam-dalam, melegakan
rongga nafasnya. Matanya entah sedang menatap apa. Hanya pandangan kosong ke
kejauhan.
Senyuman
tersungging di bibirnya, ketika sebuah ingatan menelusup di kepalanya. Saat ketika
seorang lelaki duduk di depannya, dan mengulurkan segelas air hangat ke depan
wajahnya. Membiarkan uapnya meliuk-liuk masuk ke hidungnya yang buntu. Bukan
karena ia sedang flu, hanya saja ia terlalu banyak menangis hari itu.
***
“Minum air
hangat ini, biar enakan” Lelaki itu menyentuhkan gelas ke bibirnya, Ia
menyambut dengan senyum dan membiarkan air hangat itu masuk melewati bibirnya.
Menahannya ragu, namun kemudian ditelan juga,
pelan-pelan merayapi kerongkongan, lalu tumpah di lambung, menghangatkan
perutnya yang kosong sejak semalam.
Ia ingat,
saat itu tidak ada ucapan terimakasih. Hanya diam. Kemudian dilanjutkannya
minum, seteguk demi seteguk. Hingga tandas.
“Sampai saat
ini aku yakin, air hangat adalah obat mujarab untuk segala jenis penyakit”
Tangan sang lelaki menyentuh punggung
tangannya, lebih hangat dari gelas itu, fikirnya. Dan rasa nyaman mengalir
pelan, hingga memenuhi hatinya. Tidak salah Ia pergi ke tempat itu, lelaki di
depannya selalu memberikan rasa aman dan nyaman lebih dari siapapun.
“Sudah
baikan?” Lelaki itu bertanya, dan Ia hanya menjawab dengan anggukan pelan.
Sekilas,
senyuman samar terlihat di sudut bibirnya. Mukanya pucat, matanya sembab, tapi
perasaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Entah apa yang
mengundang senyuman itu hadir. Air putih hangat, atau rasa nyaman yang
ditimbulkan lelaki itu.
“Kenapa tadi
tidak mengetuk pintu?” Lelaki itu kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini ia
jawab dengan menggeleng. Tidak apa-apa.
“Untung saja
tadi aku berniat keluar rumah. Coba kalo aku memutuskan tidur seharian saja.
Kamu bisa berdiri seharian di depan pintu” Ia tersenyum lagi, tahu kebiasaan
tidur lelaki itu. Dia bisa tidur dari pagi sampai sore, dari sore sampai pagi
lagi. Tidak ada lelahnya.
“Berapa lama
kamu di luar?” Pertanyaan lagi, tapi ia masih saja bungkam.
Lelaki itu
tidak mau mengira-ngira apa penyebab perempuan itu datang dengan wajah sendu.
Jika memang dia perlu tahu, perempuan itu pasti akan bercerita. Bukankah di
antara mereka tidak pernah ada rahasia? Paling tidak, dulu sebelum perempuan
itu menikah dan meninggalkan rongga kosong di hatinya.
Tentu saja
dia merasa kehilangan saat perempuan yang sekarang duduk tanpa semangat di sofa
ruang tamunya memutuskan untuk menikah. Tapi itu pilihannya, dia sama sekali
tidak bisa menahan. Kebahagian perempuan itu adalah kebahagianya juga. Tapi
melihat perempuan yang dikasihinya terlhihat begitu nelangsa, dia tak tahan.
Seolah-olah, dia ikut merasakan sakit yang ia rasakan
Perempuan
itu merasakan kegusaran yang sama, ia ingin bercerita. Mungkin dengan
menceritakan apa yang terjadi, bisa melelehkan sedikit demi sedikit rasa sakit
di hatinya. Tapi, urung ia lakukan. Lelaki ini mempunyai cinta yang lebih besar
untuknya, dan sedikit saja suaminya melakukan kesalahan, bisa menjadi jalan
untuk lelaki itu ikut masuk ke kehidupan rumahtangganya. Ia belum mau hal itu
terjadi.
“Baiklah,
kalau kamu belum mau bicara” Ia
ditinggalkan sendiri sambil memandangi gelas kosong di tangannya. Merenungi
sesuatu? Entahlah. Di kepalanya hanya dipenuhi satu nama. Suaminya.
***
Hari ini,
kembali perempuan itu mematung di depan jendela, memegang gelas kosong yang
tadinya berisi air hangat. Sama seperti lelaki yang mengenalkannya dengan air
hangat, Ia meyakini, air hangat adalah obat dari segala jenis penyakit. Setiap
hari, tak kurang dari delapan gelas air putih hangat dia habiskan. Terlebih
lagi saat hujan seperti ini.
Lelaki itu
lagi. Belakangan ia jadi sering membanding-bandingkan lelaki itu dengan
suaminya. Keduanya benar-benar bertolak belakang. Yang satu dengan kegemarannya
dengan air hangat, dan yang satu lagi justru tak bisa minum jika bukan air
dingin. Es batu adalah keharusan. Dan lemari es penuh dengan botol-botol
berembun berisi air putih.
Apakah
kesukaan seseorang terhadap jenis minuman bisa mempengaruhi sikap mereka?
Buktinya saja, lelaki itu selalu bisa menghangatkan suasana. Sama seperti
segelas air hangat. Belum lagi kau reguk isinya, hangat di gelasnya mengusir
dingin di tanganmu, uap hangatnya melegakan buntu di hidungmu.
Seperti
lelaki itu. Hanya dengan berada di dekatnya, Ia sudah bisa merasakan aman dan
nyaman. Dan tanpa perlu berkata-kata, mereka seperti bisa saling berbincang
hanya lewat tatapan mata.
Lain halnya
dengan suaminya. Ia dingin. Sama seperti air di gelas berembun yang menjadi
minuman sehari-harinya. Satu kali tatap saja, kamu langsung beku. Dan setiap
kali berbincang, yang ada hanya kekakuan.
Pohon mangga
di halaman rumahnya meliuk-liuk diterpa angin. Badannya mulai menggigil,
dieratkannya sweater abu-abu ke dadanya. Suara rintik hujan bagai menabuh
genting dengan suara berdebam, gaduh.
Pukul
sembilan, diliriknya jam di dinding ruang tamu. Suaminya belum juga pulang.
Tidak ada sms, tidak ada telepon, tidak ada kabar sama sekali. Perasaannya
diliputi banyak pertanyaan serta curiga. Dan tak ketinggalan cemburu.
Kemarin,
suaminya baru pulang setelah tengah malam. Sudah dua hari berturut-turut.
Seharian tidak ada kabar, baru malamnya mengirim sms. Singkat saja “aku tidak
pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Perempuan itu mengamini,
semoga betul begitu. Semoga bukan karena hal lain.
Dan sms
balasan terkirim “semoga cepat selesai pekerjaannya”. Lalu sepi, tidak ada
pembicaraan lagi. Tidak ada kata-kata maaf karena harus pulang terlambat, maaf tidak
bisa menemani makan malam. Tidak ada. Hanya itu saja.
Lalu
semalaman perempuan itu menatap langit-langit kamar, mencoba menghilangkan
semua prasangka buruk di hatinya. Menghapus semua kemungkinan buruk. Meyakinkan
hatinya, bahwa suaminya benar-benar sedang sibuk. Bahwa betul sekali
pekerjaannya menanti untuk segera diselesaikan. Lalu berpura-pura tertidur
lelap saat suara pintu kamar dibuka. Tengah malam, suaminya baru pulang.
Tapi sayang,
sms yang dia temukan malam malam sebelumnya terus saja menghantui fikirannya. Hatinya getir, mengingat suaminya
bahkan lupa bagaimana berkata-kata manis padanya, tetapi serentetan pesan yang
Ia baca, begitu mesranya. Dan semua ditujukan hanya untuk satu nama. Nama
perempuan. Entah siapa.Dia tidak lagi percaya, tidak lagi menelan bulat-bulat
perkataan suaminya. Tidak seperti dulu, yang selalu meyakini apapun yang suaminya katakan.
Dan malam
ini, kembali sms yang sama masuk ke ponselnya “Aku tidak pulang. Lembur. Banyak
pekerjaan belum selesai”. Sepertinya suaminya bahkan tidak repot mengetikkan
sms baru. Mungkin dia hanya mengirim ulang sms hari kemarin, dan kemarinnya
lagi. Begitu sibuknyakah dia?
Dengan sisa
kepercayaannya, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk suaminya di
kantornya. Membawakan makan malam. Kerang saos padang sudah dia hangatkan tadi,
nasi selalu panas, tumis taoge, dan cumi goreng tepung. Semua spesial kesukaan
suaminya.
Setelah
mengemasi makan malam, menelepon taksi, menunggu tak sabar sampai taksi itu
tiba di depan rumahnya. Ia tiba di depan gedung perkantoran yang sepi. Jika
benar suaminya lembur, maka dia akan dengan senang hati menemaninya makan malam
sebentar, lalu kembali pulang. Tapi bila tidak? Dia tahu harus ke mana.
Hujan
tinggal menyisakan rintik gerimis. Hampir semua lampu sudah padam. Dia bertanya
kepada satpam, apakah melihat suaminya. Mereka semua kompak menjawab sudah
pulang.
“Masih
lembur mas?” Dikirimkannya sms ke nomor suaminya. Tak lama jawaban masuk
“Iya. Kamu
tidur duluan saja. Tak usah menunggu”
“Lembur di
mana?”
“Di kantor
lah dek. Di mana lagi?”
“Aku di
kantormu”
Tiba-tiba
petir menggelegar, hujan kembali tumpah dengan derasnya. Bersamaan dengan
menetesnya air mata dari sudut matanya. Taksi yang mengantarnya masih menunggu
di halaman kantor. Sudah habis semua sisa-sisa kepercayaan yang dia punya. Dia
tidak perlu tahu ke mana suaminya pergi. Satu kebohongan itu saja sudah cukup
menjelaskan.
Taksi
membelah jalanan yang basah. Sesekali supir taksi menengok ke belakang,
khawatir pada penumpangnya yang menangis di jok belakang. Terlebih, ia tidak
meminta diantarkan ke rumahnya.
Berkali-kali
ponselnya bergetar di genggaman. Telepon masuk dari suaminya. Tidak dihiraukan.
Ia tidak sedang ingin mendengar penjelasan apa-apa. Sekali dusta, selamanya
dusta. Bukankah begitu?
“Tidak
pulang ke rumah bu?” Tanya supir taksi itu sopan.
“Lurus saja
pak, belok kiri di pertigaan depan” Ia menginstruksi dari jok belakang, sambil
menyeka air mata dan ingus dengan tisu.
Panggilan
masuk lagi ke ponselnya. Masih dari suaminya. Kali ini ditekannya tombol
reject. Sebentar lagi ia sampai ke rumah yang dituju. Menuju rumah
perlindungan, mencari segelas air hangat untuk perutnya, dan pelukan untuk
menenangkan hatinya. Sweater abu-abunya basah saat dia berlari menembus hujan,
dan dibiarkannya hujan menyembunyikan air matanya.Lalu mengetuk pintu sekuat
tenaga.
“Ada apa
sayang?” Lelaki itu panik mendapati perempuannya menggigil di depan rumah.
Dituntunnya perempuan itu ke ruang tamu.
“Keringkan
badanmu, dan cepat ganti baju!” Perempuan itu menurut, menyeret langkahnya ke
sebuah kamar, meninggalkan jejak basah. Saat ia kembali, didapatinya lelaki itu
dan segelas air hangat di meja, serta tanya di matanya. Perempuan itu duduk.
“Air hangat
ini, tidak bisa menyembuhkan sakit hati dan kekecewaan. Aku bahkan ragu, apakah
ada obat untuk dua penyakit itu?” Diletakkannya gelas kosong di meja, setelah
meminum dengan rakus isinya.
“Ada apa?”
Wajah khawatir lelaki itu tak bisa disembunyikan.
“Aku ingin
pulang. Ayah..” Ia menghambur ke pelukan sang ayah. Lalu tak ada kata-kata
lagi. Hanya tangisan, suara getar ponsel di meja, dan geram marah sang ayah.