Minggu, 27 September 2020

Memang sudah jalannya

15 tahun lalu, ditemani kakakku, aku menyusuri lorong sabuga ITB membawa selembar formulir pendaftaran SPMB. Di depan dan di belakangku mengular pendaftar lainnya. Yang aku yakin, sama-sama penuh harap, dan sama-sama cemas sepertiku.

Beberapa meter dari meja pendaftaran, pengantar tidak diperkenankan ikut. Aku yang kikuk, melanjutkan berjalan dalam antrian sambil mengamat-amati kertas yang tertulis namaku, serta kode jurusan Pendidikan Biologi UPI sebagai jurusan pertama, dan psikologi UPI di pilihan kedua.

Tinggal beberapa langkah lagi sampai di meja pendaftaran, tanpa sengaja aku membaca spanduk berisi pengumuman jurusan2 yang siswanya tidak boleh buta warna. Kedua jurusan yang aku pilih, masuk ke dalam daftar itu.

Diriku yang polos, saat itu ga sadar kalo itu hanya strategi marketing bagi penjual jasa tes buta warna. Dan diriku yang panik dihadpakan pada pilihan. Daftar ke jurusan2 pilihanku dengan risiko nanti didepak karena buta warna. Atau ganti jurusan yg aman tanpa syarat bebas buta warna.

Kok bisa-bisanya saat itu aku ga sadar kalo aku tu dari dulu sehat sehat aja matanya. Ga ada sedikitpun indikasi buta warna. Tapi namanya panik, aku jadi kayak kehilangan akal sehat.

Akhirnya aku balik kucing ke belakang antrian, mencari kakakku. Mau menanyakan pendapat dia. Tapi dicari2 ga ketemu. Makin panik lah. Di saat yang sama, ternyata kakakku mencari ke area meja pendaftaran, namun tidak menemukanku. Duh.

Masuk lagi lah ke meja pendaftaran. Tanpa fikir panjang, aku ganti pilihan jurusan. Fisika di pilihan pertama, dan matematika pilihan kedua. Semua di kampus UPI. Untuk kampus, aku memang tidak punya pilihan. Harus di kampus yang sama dengan kakakku, supaya nanti bapak tidak pusing menambah biaya kos untukku.

Singkat cerita, Aku lulus SPMB Pilihan pertama. Tapi hatiku ga pernah ada di fisika. Sejak SMP aku penggemar biologi. Sementara Fisika, musuh bebuyutan. 

Mungkin garis nasibku memang ga kuliah di UPI. Setelah persiapan Ospek, pengumuman STAN akhirnya keluar. Dan alhamdulillah aku lulus, walau hanya diploma I.

Kalo misalnya saat itu aku masuk jurusan biologi, aku akan dengan sangat yakin melepas STAN. Tapi berhubung keduanya bukan pilihan hati. Aku jadi bimbang. Lanjut kuliah di fisika, atau STAN? keduanya tidak ada yang benar-benar aku minati.
 
Setelah beberapa hari memikirkan, aku putuskan mengambil kuliah di STAN. Dengan pertimbangan supaya tidak teralu membebani bapak dengan biaya kuliah. STAN kan gratis. Dan kebetulan, tempat pedidikannya pun di Cimahi. Untuk tempat tinggal, aku dititipkan bapak di rumah salah satu temannya.

Dari sanalah semua bermula.

Ternyata, keluguanku saat itu mempertemukanku dengan keluarga baru. Ibu, bapak, kakak, ceuceu, Riri... Ketergesaanku mengubah pilihan adalah pembuka jalan aku bertemu jodoh. Dan Dari semua rentetan peristiwa itu. Aku mengenal teman-teman baik, kakak-kakak baru yang begitu mengayomi. Mbak K dan mbak V...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar