Aku dapati senyum, saat memulai pagi
manis
jangan usik aku hari ini !
Aku dapati sapa, saat memulai pagi
legit
biarkan aku nikmati hari ini!
Aku dapati kamu, saat memulai pagi
tak penting bagaimana sisa hari
Senin, 02 Desember 2013
mendung
wajah langit sendu
aku terpaku
angin berderam,
tak sabar ingin bersua hujan
seketika..
hujan terjun berkejaran di langitku
angin lincah menari di sekelilingnya
aku terperangkap, tersirap drama alam
saat angin melepas rindunya pada hujan
ditingkahi gemuruh guntur bersahutan
sebutir embun luruh di jariku..
bersama bulir yang jatuh
dari dua sudut mataku
Jumat, 29 November 2013
Segelas air hangat #2
segelas
air hangat.
Seorang
perempuan menggenggam segelas air hangat dengan erat, seolah dari sanalah semua
kekuatan dirinya berasal. Atau mungkin Ia hanya sekedar ingin menyalurkan kehangatan supaya menjalar
ke setiap centi tubuhnya. Dihirupnya uap yang terkepul dalam-dalam, melegakan
rongga nafasnya. Matanya entah sedang menatap apa. Hanya pandangan kosong ke
kejauhan.
Senyuman
tersungging di bibirnya, ketika sebuah ingatan menelusup di kepalanya. Saat
ketika seorang lelaki duduk di depannya, dan mengulurkan segelas air hangat ke
depan wajahnya. Membiarkan uapnya meliuk-liuk masuk ke hidungnya yang buntu.
Bukan karena ia sedang flu, hanya saja ia terlalu banyak menangis hari itu.
***
“Minum
air hangat ini, biar enakan” Lelaki itu menyentuhkan gelas ke bibirnya, Ia
menyambut dengan senyum dan membiarkan air hangat itu masuk ke mulutnya. Menahannya
ragu, namun kemudian ditelan juga, pelan-pelan merayapi kerongkongan, lalu tumpah
di lambung, menghangatkan perutnya yang kosong sejak semalam.
Ia
ingat, saat itu ia bahkan tidak mengucapkan terimakasih. Ia hanya diam.
Kemudian melanjutkan minum, seteguk demi seteguk. Hingga tandas.
“Sampai
saat ini aku yakin, air hangat adalah obat mujarab untuk segala jenis penyakit” Tangan
sang lelaki menyentuh punggung tangannya,
lebih hangat dari gelas itu, fikirnya. Dan rasa nyaman mengalir pelan, hingga
memenuhi hatinya. Tidak salah Ia pergi ke tempat itu, lelaki di depannya selalu
memberikan rasa aman dan nyaman lebih dari siapapun.
“Sudah
baikan?” Lelaki itu bertanya, dan ia hanya menjawab dengan anggukan pelan.
Sekilas,
senyuman samar terlihat di sudut bibirnya. Mukanya pucat, matanya sembab, tapi
perasaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, saat Ia pergi dari
rumah, berjalan tanpa arah, memutuskan mencegat taksi, kemudian berdiri
mematung di depan rumah lelaki yang kini ada di hadapannya. Ia sengaja tidak
mengetuk pintu. Hanya menunggu sampai tuan rumah membuka pintunya.
“Kenapa
tadi tidak mengetuk pintu?” Lelaki itu
kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini ia jawab dengan menggeleng. Tidak
apa-apa.
“Untung
saja tadi aku berniat keluar rumah. Coba kalo aku memutuskan tidur seharian
saja. Kamu bisa berdiri seharian di depan pintu” Ia tersenyum lagi, tahu
kebiasaan tidur lelaki itu. Dia bisa tidur dari pagi sampai sore, dari sore
sampai pagi lagi. Tidak ada lelahnya.
“Berapa
lama kamu di luar?” Pertanyaan lagi, tapi ia masih saja bungkam
“Baiklah,
kalau kamu belum mau bicara” Ia
ditinggalkan sendiri sambil memandangi gelas kosong di tangannya. Merenungi
sesuatu? Entahlah. Ia hanya terkenang suaminya.
***
Lelaki
itu tidak mau mengira-ngira apa penyebab perempuan itu datang dengan wajah
sendu. Jika memang dia perlu tahu, perempuan itu pasti akan bercerita. Bukankah
di antara mereka tidak pernah ada rahasia? Paling tidak, dulu sebelum perempuan
itu menikah dan meninggalkan rongga kosong di hatinya.
Tentu
saja dia merasa kehilangan saat perempuan yang sekarang duduk tanpa semangat di
sofa ruang tamunya memutuskan untuk menikah. Tapi itu pilihannya, dia sama
sekali tidak bisa menahan. Kebahagian perempuan itu adalah kebahagianya juga. Tapi
melihat perempuan yang dikasihinya terlhihat begitu nelangsa, dia tak tahan.
Seolah-olah, dia ikut merasakan sakit yang ia rasakan.
Perempuan
itu gusar, ia ingin bercerita. Mungkin dengan menceritakan apa yang terjadi,
bisa melelehkan sedikit demi sedikit rasa sakit di hatinya. Tapi, urung ia
lakukan. Lelaki ini mempunyai cinta yang lebih besar untuknya, dan sedikit saja
suaminya melakukan kesalahan, bisa menjadi jalan untuk lelaki itu ikut masuk ke
kehidupan rumahtangganya. Ia belum mau hal itu terjadi.
“Kamu
selalu bisa kembali padaku, kapanpun kamu mau. Tapi tentunya aku berharap kamu
tidak menggunakan hak itu.” Ia masih teringat kalimat terakhir yang diucapkan
lelaki itu sebelum suaminya dulu datang melamar.
Membayangkan
suaminya, hanya mengundang pilu dan tangis yang baru. Semalam, ia membuka
ponsel suaminya. Menemukan sederet pesan yang tak pernah ia duga. Hatinya
getir, mengingat suaminya bahkan lupa bagaimana berkata-kata manis padanya, tetapi
serentetan pesan yang Ia baca, begitu mesranya. Dan semua ditujukan hanya untuk
satu nama. Nama perempuan. Entah siapa.
Lama
ia memandangi wajah pulas suaminya. Hendak membangunkan, menuntut penjelasan.
Tapi, tak kuasa ia mengganggu lelap suaminya. Bukankah suaminya baru pulang
larut malam tadi, setelah katanya menghadiri rapat dengan rekan bisnisnya.
Betulkah rapat? Atau apa? Akhirnya ia putuskan, tak akan bertanya. Menunggu
suaminya untuk jujur, tanpa diminta.
Lama
kelamaan, rasa ragu makin merimbun di hati dan fikirannya. Prasangka demi
prasangka tumpang tindih, sesak di hati dan kepalanya. Pantas saja belakangan
ini ponsel suaminya sering sibuk jika Ia telpon, pulang lebih malam, sms hampir
tak pernah. Sudah berapa akhir pekan hanya mereka habiskan di rumah saja. Tidak
ada jalan-jalan ke luar kota, tidak ada acara nonton midnight. Atau sekedar duduk bersama di teras, sambil membaca buku.
Sejak
kapan, suaminya mulai bermain-main dengan perempuan itu? Sejauh mana hubungan
mereka? Ia hanya bisa menebak-nebak. Tapi, sms itu saja sudah bukti
penghianatan. Dan ia sama sekali tidak memberi toleransi atas semua jenis
kebohongan. Sejak hari itu Ia berjanji, tidak akan terlalu mudah mempercayai
semua ucapan suaminya.
Perempuan
itu kembali ke masa kini, memandangi langit senja yang lembayung di ufuk barat.
Gelasnya sudah tidak sehangat tadi, tapi matanya kian panas, sesak oleh air
mata.
***
Hari
ini, kembali perempuan itu mematung di depan jendela, memegang gelas kosong
yang tadinya berisi air hangat. Sama seperti lelaki yang mengenalkannya dengan
air hangat, Ia meyakini, air hangat adalah obat dari segala jenis penyakit. Setiap
hari, tak kurang dari delapan gelas air putih hangat dia habiskan. Terlebih
lagi saat hujan seperti ini.
Pohon
mangga di halaman rumahnya meliuk-liuk diterpa angin. Badannya mulai menggigil,
dieratkannya sweater abu-abu ke dadanya. Suara rintik hujan bagai menabuh
genting dengan suara berdebam, gaduh.
Pukul
sembilan, diliriknya jam di dinding ruang tamu. Suaminya belum juga pulang.
Tidak ada sms, tidak ada telepon, tidak ada kabar sama sekali. Perasaannya diliputi
banyak pertanyaan, serta curiga. Dan tak ketinggalan cemburu.
Kemarin,
suaminya baru pulang setelah tengah malam. Sudah dua hari berturut-turut.
Seharian tidak ada kabar, baru malamnya mengirim sms. Singkat saja “aku tidak
pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Perempuan itu mengamini,
semoga betul begitu. Semoga bukan karena hal lain.
Dan
sms balasan terkirim “semoga cepat selesai pekerjaannya”. Lalu sepi, tidak ada
pembicaraan lagi. Tidak ada kata-kata maaf karena harus pulang terlambat, maaf
tidak bisa menemani makan malam. Tidak ada. Hanya itu saja.
Lalu
semalaman perempuan itu menatap langit-langit kamar, mencoba menghilangkan
semua prasangka buruk di hatinya. Menghapus semua kemungkinan buruk. Meyakinkan
hatinya, bahwa suaminya benar-benar sedang sibuk. Bahwa betul sekali
pekerjaannya menanti untuk segera diselesaikan. Lalu berpura-pura tertidur
lelap saat suara pintu kamar dibuka. Tengah malam, suaminya baru pulang.
Tapi
sayang, sms yang dia temukan malam malam sebelumnya terus saja menghantui
fikirannya. Menjadi kabut di hatinya. Dia tidak lagi percaya, tidak lagi
menelan bulat-bulat perkataan suaminya. Tidak seperti dulu, yang selalu meyakini
apapun yang suaminya katakan.
Dan
malam ini, kembali sms yang sama masuk ke ponselnya “Aku tidak pulang. Lembur.
Banyak pekerjaan belum selesai”. Sepertinya suaminya bahkan tidak repot
mengetikkan sms baru. Mungkin dia hanya mengirim ulang sms hari kemarin, dan
kemarinnya lagi. Begitu sibuknyakah dia?
Dengan
sisa kepercayaannya, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk suaminya
di kantornya. Membawakan makan malam. Kerang saos padang sudah dia hangatkan
tadi, nasi selalu panas, tumis taoge, dan cumi goreng tepung. Semua spesial
kesukaan suaminya.
Dia
mengemasi makan malam, menelpon taksi, menunggu tak sabar sampai taksi itu tiba
di depan rumahnya. Jika benar suaminya lembur, maka dia akan dengan senang hati
menemaninya makan malam sebentar, lalu kembali pulang. Tapi bila tidak? Dia
tahu harus ke mana.
Hujan
tinggal menyisakan rintik gerimis. Gedung perkantoran tempat suaminya bekerja
sudah senyap. Dia bertanya kepada satpam, apakah melihat suaminya. Mereka semua
kompak menjawab sudah pulang. Semua lampu sudah dimatikan.
“Masih
lembur mas?” Dikirimkannya sms ke nomor suaminya. Tak lama jawaban masuk
“Iya.
Kamu tidur duluan saja. Tak usah menunggu”
“Lembur
di mana?”
“Di
kantor lah dek. Di mana lagi?”
“Aku
di kantormu”
Tiba-tiba
petir menggelegar, hujan kembali tumpah dengan derasnya. Bersamaan dengan
menetesnya air mata dari sudut matanya. Taksi yang mengantarnya masih menunggu
di halaman kantor. Sudah habis semua sisa-sisa kepercayaan yang dia punya. Dia
tidak perlu tahu ke mana suaminya pergi. Satu kebohongan itu saja sudah cukup
menjelaskan.
Taksi
membelah jalanan yang basah. Sesekali supir taksi menengok ke belakang,
khawatir pada penumpangnya yang menangis di jok belakang. Terlebih, dia tidak
meminta diantarkan ke rumahnya.
Berkali-kali
ponselnya bergetar di genggaman. Telepon masuk dari suaminya. Tidak ia
hiraukan. Ia tidak mau mendengar apa-apa. Ia tidak sedang ingin mendengar
penjelasan apa-apa. Sekali dusta, selamanya dusta. Bukankah begitu?
“Tidak
pulang ke rumah bu?” Tanya supir taksi itu sopan.
“Lurus
saja pak, belok kiri di pertigaan depan” Ia menginstruksi dari jok belakang,
sambil menyeka air mata dan ingus dengan tisu.
Panggilan
masuk lagi ke ponselnya. Masih dari suaminya. Kali ini dia tekan tombol reject.
Sebentar lagi ia sampai ke rumah yang dituju. Saat ini yang ia butuhkan hanya
segelas air hangat, dan pelukan. Sweater abu-abunya basah saat dia berlari
menembus hujan. Dibiarkannya hujan menyembunyikan air matanya.
“Ada
apa sayang?” Lelaki itu panik mendapati perempuan itu menggigil di depan
rumahnya. Ketukan di pintu rumahnya sayup terdengar, kalah oleh bunyi petir
yang menggelegar.
Lelaki
itu menuntunnya ke ruang tamu, menyodorkan handuk kering.
“Keringkan
badanmu. Cepat ganti baju!” Perempuan itu menurut. Ia masuk ke sebuah kamar, mengganti
baju, lalu kembali ke ruang tamu. Didapatinya lelaki itu dan segelas air hangat
di meja, serta tanya di matanya. Ia duduk di sampingnya.
“Air
hangat ini, tidak bisa menyembuhkan sakit hati dan kekecewaan. Aku bahkan ragu,
apakah ada obat untuk dua penyakit itu?” Diletakkannya gelas kosong di meja,
setelah meminum dengan rakus isinya.
“Ada
apa?” Wajah khawatir lelaki itu tak bisa disembunyikan.
“Ayah,
aku pulang..” Ia menghambur ke pelukan sang ayah. Lalu tak ada kata-kata lagi.
Hanya tangisan, suara getar ponsel di meja, dan geram marah sang ayah.
Jumat, 01 November 2013
denting
ada suara di kepalaku
seperti genta, mendentam-dentam
marah! marah saja!
perintahnya
suara itu
membawa geram
aku tak suka
kuhembus nafas
panjang-panjang
pelan
genta itu melemah
lalu senyap
suara-suara menghilang dari kepala
hingga bisa kudengar
denting gelas beradu
membawaku kembali ke hadapannya
tidak, aku tidak marah
bisikku
seperti genta, mendentam-dentam
marah! marah saja!
perintahnya
suara itu
membawa geram
aku tak suka
kuhembus nafas
panjang-panjang
pelan
genta itu melemah
lalu senyap
suara-suara menghilang dari kepala
hingga bisa kudengar
denting gelas beradu
membawaku kembali ke hadapannya
tidak, aku tidak marah
bisikku
Senin, 09 September 2013
Rabu, 04 September 2013
kupetik cintaku, untukmu
Waktu aku memasuki
gerbang sekolah ini lagi, aku melihat diriku tujuh tahun lalu, dengan seragam putih
abu, berlari terburu-buru, adu cepat dengan pak Asep yang membunyikan bel, dan
Pak Udin yang bersiap mengunci pagar.
Hari ini ada open
house, sebenarnya lebih ditujukan bagi calon siswa baru dan orangtuanya.
Aku memanfaatkan keramaian ini untuk menyelinap masuk, tanpa mengundang banyak
perhatian. Jadi, seandainya aku
celingukan ke setiap kelas sekalipun, aku tidak akan diciduk satpam. Aku kemari
bukan untuk sekedar bernostalgia, berjalan-jalan di koridor sekolah, mengorek
kenangan di setiap sudutnya. Aku kemari untuk menjemput cinta pertamaku.
***
“Nama saya Hasna Nabila” Guru biologi kami
memperkenalkan diri.
“Sudah punya
pacar?” seorang siswa nyeletuk dari barisan belakang, disambut suara huuuu
panjang dari para siswi.
“Wah, baru
kelas dua SMA udah pada nanya udah punya pacar apa belum. Saya baru lulus
kuliah tahun lalu, dan ini tugas mengajar saya yang pertama. Jadi saya minta
kerjasama dari para siswa semua. Soal pacar, ga ada. Ibu ga punya” dia
tersenyum, manis sekali.
“Sekarang
giliran kalian yang mengenalkan diri. Ibu absen satu persatu” Bu Hasna berjalan
ke kursinya, mengambil daftar absen dari mejanya
“Alvaro Novan”
Ia memanggil namaku lantang, aku malah terpaku “Alvaro Novan?” Bu Hasna
mengulang namaku. Aku masih bergeming, sampai Taufan teman sebangkuku menyikut
tanganku.
“saya bu”
seruku sambil mengangkat tangan
“pagi-pagi kok
udah melamun Al?” Bukankah itu pertanyaan biasa saja? Tapi aku, merasa ada yang
beda. Sebelum ini tidak ada yang memanggilku Al, apalagi dengan caranya. Al
dengan L tebal di ujungnya. Teman-temanku memanggil Varo, keluargaku memanggil
Novan. Dan Bu guru cantik ini, ya bu guru cantik ini memanggilku Al, dengan L
tebal di ujungnya.
“ga apa–apa
bu” jawabku gelagapan, teman-teman sekelas tertawa cekikian.
“Varo grogi
bu” goda Doni, dia yang tadi nyeletuk menanyakan apakah bu Hasna sudah punya pacar
atau belum. Aku merasakan wajahku semakin panas.
Dua jam pelajaran
tadi hanya diisi sedikit perkenalan dari teman-teman, dan aturan main belajar
dengan Bu Hasna. Tapi aku tidak bisa fokus dengan apa yang Bu Hasna sampaikan.
Aku terlalu sibuk dengan detak jantungku yang berdetak lebih cepat dari
biasanya. Akupun selalu refleks menahan nafas, setiap mendengar bu Hasna
memanggilku AL.
***
Aku berjalan
bersama calon orang tua siswa lainnya dari satu kelas ke kelas lainnya,
mengamati proses belajar mengajar. Ada juga orangtua yang melihat-lihat
fasilitas sekolah, mulai dari sarana ibadah, kegiatan ekstrakurikuler, lapangan
olahraga, dan perpustakaan. Langkahku terhenti di depan sebuah kelas dengan
papan bertuliskan XII IPA 1 di atas pintunya. Dulu ini kelas 3 IPA 3, kelasku. Di teras
depan ini, aku dan teman-teman sering duduk-duduk. Dan Bu Hasna, walaupun sudah tidak mengajar
kelas 3, sering bergabung bersama kami.
“Di sini
banyak nyamuk” Keluhnya. Di depan kelas kami ada pohon nangka dan kedondong.
Mungkin nyamuk senang bermain-main di sana.
“Pasti
nyamuknya cowok tuh” seru Doni. Aku
betul-betul berjodoh dengan Doni, 3 tahun kami sekelas, bahkan sekarang kami
duduk sebangku.
“Yang
menghisap darah itu cuma nyamuk betina, itupun bukan untuk makan, tapi untuk
berkembang biak” kata bu Hasna, dan seruan ooo panjang sempurna membulat di
mulut kami.
Bu Hasna lah
alasan mengapa aku jadi menyukai pelajaran biologi. Nilai biologiku meroket
naik, tidak ada lagi acara tidur di kelas, atau PR yang lupa dikerjakan. Aku
selalu ingin terlihat baik di mata Bu Hasna.
Tapi, setelah
naik kelas tiga, Pak Jatmiko yang mengajar biologi. Aku tidak bisa lagi
menikmati suaranya saat mengajar, menatap wajah teduhnya, mendengarnya
memanggil Al dengan L tebal di ujungnya. Aku merasakan rindu yang begitu kuat.
Dan saat itu aku sadar, aku bukan sekedar mengidolakan bu Hasna. Aku jatuh
cinta padanya, pada guruku.
Aku ingin selalu
berada di sekitar bu Hasna. Aku ikut grup science yang Bu Hasna mentori, mati-matian
belajar agar bisa masuk grup yang anggotanya dipilih berdasarkan seleksi ketat.
Beruntung basic biologiku tidak terlalu buruk, dengan menambah porsi belajar,
aku bisa masuk. Aku juga meminta les tambahan di rumahnya, dan Bu Hasna tidak
keberatan.
***
Aku berjalan
menyusuri koridor, melewati kelas demi kelas, tapi tidak menemukannya di kelas
manapun. Padahal tadi aku sudah mengecek jadwal mengajar di lobi, hari ini bu
Hasna ada jadwal. Atau mungkin, bu Hasna di Laboratorium?
Gagasan itu
seperti bohlam terang di kepalaku, membuatku tak bisa berhenti tersenyum sambil
berlari kecil menuju ruangan besar di ujung barat. Letaknya agak tersembunyi,
di belakang ruang guru. Belum ada rombongan orangtua dan calon siswa yang
sampai kemari. Di halaman lab, pohon mangga berbuah lebat.
Darahku
berdesir semakin cepat melihat pohon yang kami tanam dulu. Hari itu Bu Hasna
meminta bantuanku, aku tentunya tidak merasa keberatan, walaupun harus
menenteng-nenteng cangkul, pupuk dan bibit mangga.
"Sayang
sekali kalo tanah ini dibiarkan kosong. Lebih baik jika ditanami sesuatu"
Ceramahnya, lalu aku mulai mengayunkan cangkul ke tanah padat di ujung halaman
lab. Tapi ternyata tanah ini keras sekali.
“Sini, biar
ibu saja!” Aku kaget waktu Bu Hasna
merebut cangkul dari tanganku, lalu mengayunkannya ke tanah padat di antara ke
dua kakinya. Aku spontan menahan nafas, takut ayunannya meleset dan mengenai
kakinya.
“Wow, bu Hasna
bisa nyangkul?” Takjub aku dibuatnya, membuatku semakin jatuh hati.
Keringat menitik di keningnya, memantulkan sinar matahari, sewarna pelangi.
“Bapakku
petani, aku dari kecil mainannya udah cangkul, arit. Kalo Cuma urusan cangkul
mencangkul segini saja si gampang. Asal jangan disuruh nyangkul sepetak sawah
aja” tawanya berderai, tapi sebelum dia mengayunkan cangkul untuk kedua
kalinya,segera kuambil cangkul itu dari tangannya.
“Biar aku saja”
Aku melanjutkan mencangkul, menyiapkan tanah gembur untuk ditanami,
mencampurnya dengan pupuk, lalu menanam bibit mangga hasil cangkokannya.
***
Dari jendela
aku bisa melihat kesibukan di dalam laboratorium. Sebagian siswa asik di depan
mikroskop, sebagian lagi mencatat sesuatu. Ada juga yang sedang memotong-motong
entah apa, akar tanaman mungkin. Dan ada bu guru cantik berkeliling memeriksa
pekerjaan siswa siswinya. Bu Hasna. Masih sama seperti ingatanku, hanya saja sekarang jilbab manis menutupi rambut ikalnya. Aku merasakan lagi sensasi itu, aliran darah yang mendesir lebih deras dari biasa, jantung yang berdetak lebih cepat, dan pasti wajahku merona merah.
Aku memutuskan menunggunya di bawah pohon mangga, mengamatinya dari jauh. Sekarang pohon ini sudah
tinggi, dengan buah lebat hampir di setiap batangnya. Sementara di dalam lab,
para siswa terlihat sibuk merapikan pekerjaan. Kertas-kertas dikumpulkan,
bahan-bahan praktikum dibersihan. Semua peralatan diletakkan di tempat semula.
Dan bu guru Hasna, memberikan instruksi.
“Soal yang ibu
bagikan, dikumpulkan besok ya anak-anak, Jangan lupa sampahnya dibuang ke
tempat sampah! Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam...”kompak
para siswa menjawab salam.Tepat saat dia keluar dari pintu lab, bel istirahat
berbunyi.
“Bu Hasna!”
aku memanggilnya. Ia spontan mengentikan langkah.
Lama ia
mengamatiku, Agak ragu untuk mendekat. Tapi kemudian aku melihat ia tersenyum.
Senyum yang menjadi candu sejak pertama kali aku melihatnya. Dan senyum yang
membuatku mati merindu tujuh tahun lamanya.
“Al?” masih
dengan cara sama, L tebal di ujungnya. Sampai saat ini hanya dia yang
memanggilku begitu.
Senyumku
terkembang, menyambutnya yang berjalan pelan ke arahku. Mukaku kebas, tubuhku kaku. Waktu serasa berjalan
lambat sekali. Di belakangangnya serombongan calon orangtua murid masuk ke lab,
dibimbing oleh pengurus OSIS yang ditugaskan menjadi guide.
“Aku menagih
janji ibu” Kataku.
Waktu
seakan mampat. Berhenti di tempat. Ada jarak satu meter di antara kami. Lalu
waktu memusing di sekitar kami, melemparkan aku dan bu Hasna ke tujuh tahun
silam.
“Yap, akhirnya
selesai juga” Serunya setelah memastikan batang pohon mangga tegak, dan
memadatkan tanah di sekitarnya. Ia duduk menyelonjorkan kaki di teras lab.
“Boleh aku
bilang sesuatu bu?” Perasaan gugup menjalar di setiap tubuhku.
“Ada apa Al?
Mau belajar juga gimana cara nyangkok yang benar?” Bu Hasna tersenyum, aku
menghampirinya. Duduk persis di sebelahnya.
“Ibu gak punya
pacar?” tanyaku. Bu Hasna menggeleng. Ada jeda yang panjang, kami sama-sama
larut dalam fikiran kami. Aku yakin, tanpa aku mengatakannyapun Bu Hasna tahu
kalo selama ini aku diam-diam mengaguminya.
Angin sepoi
memainkan anak rambutnya, lidahku semakin kelu. Semua kata yang sudah aku susun
rapi, berantakan. Keberanianku surut. Tapi, aku harus mengatakannya. Setelah
ini, aku akan melanjutkan kuliah. Belum tentu aku mempunyai kesempatan untuk
bicara.
“Bu Hasna, mau
menunggu aku? Lima, enam, atau tujuh tahun lagi? Aku mau jadi suami ibu” Angin
berdesir, menggigilkan tubuhku. Aku menunduk, takut membayangkan reaksi Bu
Hasna. Bisa saja dia marah, menganggapku kurang ajar, atau melaporkanku ke guru
BP. Tapi yang paling aku takutkan, ia tidak mau bicara lagi padaku karena hal
ini.
Bu Hasna tidak
menjawab. Dia memilin-milin rambutnya yang ikal, memikirkan entah apa. Jika
saat itu Bu Hasna langsung mengatakan tidak, lalu pergi, aku pasti tidak akan
menyimpan banyak harapan untuknya. Alih-alih mengatakan sesuatu, ia memandangiku
lama, entah apa yang ia cari. Kemudian tersenyum, senyum termanis yang pernah
kulihat darinya.
"Kita
lihat saja nanti ya Al" Ia meninggalkanku di depan lab. Kita lihat saja
nanti?
Seminggu
setelah kejadian itu, aku wisuda kelulusan, lalu melanjutkan kuliah.
Sengaja aku mengambil jurusan bioteknolgi, karena semua hal yang berhubungan
dengan biologi, mengingatkanku pada bu Hasna. Aku menyelesaikan kuliah secepat
yang aku bisa. Dan selama dua tahun terakhir aku bekerja di sebuah perusahaan
yang melakukan riset pengembangan benih tanaman obat dan pangan.
***
“Al?” Ia memanggilku lagi. Al, dengan L tebal di ujungnya. Aku semakin tak karuan.
“Ke mana saja
kamu tujuh tahun ini?” Aku melihat sesuatu berkilat di ujung matanya.
“Kuliah, kerja”
aku menundukkan kepala. Tujuh tahun ini aku memang tidak pernah memberikan
kabar apapun pada bu Hasna. Tujuh tahun aku bersembunyi. Mengumpulkan
keberanian untuk menjemput Bu Hasna. Meyakinkan hatiku bahwa kata-kata terakhir dari bu Hasna berarti dia bersedia menungguku. Mengusir fikrian bu Hasna sudah bersama orang lain.
“Kamu
benar-benar telah membuat ibu menunggu. Bonusnya, tanpa kabar sama sekali.” sebulir
air mata jatuh dari matanya.
“Maaf, baru hari ini aku punya keberanian” susah
payah aku menahan diri agar tidak memeluknya, lalu menghapus air mata di
pipinya. Tuhan, rindu ini begitu kuatnya. Dan sekarang, dia hanya berjarak seratus
sentimeter di depanku.
“Kamu mau bawa
ibu ke mana?” Bu Hasna menantangku
“Pelaminan” Jawabku
pasti
“Kapan?” Tanyanya
lagi
“Secepatnya” Senyumku
terkembang
“Jangan membuatku
menunggu lagi. 3 bulan lagi ulang tahunku ke 29” Kemudian dia meninggalkanku di
depan pohon mangga yang berbuah ranum. Masa penantianku usai sudah. hari ini cintaku juga sudah matang.
Kupetik cintaku, kupersembahkan untuk bu Hasna.
Selasa, 27 Agustus 2013
layang-layang
Bulan ini, angin lebih kencang dari biasanya. Pohon nangka di depan rumah tak mau berhenti bergoyang, menggugurkan daun-daunnya hingga berserakan di halaman. Kata ibu, karena halaman rumah dan pekarangan ini luas, pekerjaan menyapu harus dikerjakan oleh laki-laki. Makanya nanti aku yang pasti bertugas menyapu semua dedaunan ini hingga bersih di subuh hari, kemudian siang sampai sore dipenuhinya lagi. Lalu disapu lagi dipagi hari, lalu dipenuhi dedaunan lagi, begitu terus setiap hari.
Sementara kakak-kakak perempuanku sibuk di teras rumah dengan bekelnya, aku larut bersama anak-anak lelaki lainnya di lapangan. Tentunya aku tidak mau menyia-nyiakan kunjungan si angin kencang. Buat apa lagi kalau bukan untuk bermain layang layang. Biar kata sudah berseragam putih abu, aku tidak mau ketinggalan.
Urusan main layang-layang ini, aku jagonya. Tengok saja, layang-layangku paling tinggi di bandin teman yang lain. Menikmati angin yang menerpa wajah, sambil mengendalikan layang-layangku yang terbang ke sana kemari. Tadi, sudah 3 lawan yang jatuh. Cukup untuk sore ini. Sekarang aku mau bermain sendiri saja, menjauh dari layang-layang yang lain.
"yaaaaah.. Kalah lagi" seru seorang anak di belakangku. Disusul teriakan riuh "kejaaar" dan para bocahpun berlarian mengejar layang-layang yang terbang gontai tanpa tali. Jatuh. Biasanya saling sikut tak terelakkan. Mereka berlarian di sekitar lapangan, memasuki kampung. Kalau perlu, mereka akan memanjat tiang-tiang, pohon-pohon, bahkan rumah-rumah tetangga. Tak jarang sampai ada yang terluka. Demi rasa puas mendapat selembar layang layang.
Ternyata, layang-layang yang tersisa tinggal dua saja, milikku dan yang baru saja menjadi pemenang. Di ujung utara lapangan, seorang anak sibuk mengulur gelasan. Mengarahkan layang-layangnya ke arahku. Sepertinya masih bocah ingusan kalau dilihat dari badan kecilnya.
Anak-anak yang tadi ikut berlarian sudah kembali memenuhi lapangan, satu orang sudah mendapatkan layang-layang, dia tertawa tawa dengan kertas segi empat kuning di tangannya. Yang lain sudah asik menonton duelku dengan anak kecil tadi. Aku tidak mengenalnya. Sepertinya bukan dari kampung kami. Jaraknya juga cukup jauh untukku bisa mengenali wajahnya lebih seksama.
"ayooo.. Jangan mau kalah." teriak mereka riuh di belakangku
Aku tenang menarik ulur gelasan di tanganku. Arah angin sedang berpihak padaku. Si layang-layang biru sudah mendekat, meliuk liuk mencari kesempatan menjatuhkanku.
Aku tidak pernah kalah. Sudah kubilang aku jagonya. Menantangku berarti bersiap untuk menjatuhkan layang-layang miliknya. Aku tersenyum. Anak ingusan tadi, entah, wajahnya tak terlihat jelas. Mungkin dia cemas.
Hampir sepuluh menit layang-layang kami beradu di angkasa. Sorak sorai semakin riuh. Ini pertandingan adu kuat yang cukup lama. Biasanya tak sampai dua menit, sabetan maut langsung memutus tali layang-layang lawan. Tapi si anak ingusan ini sulit juga dikalahkan.
Ternyata, layang-layang yang tersisa tinggal dua saja, milikku dan yang baru saja menjadi pemenang. Di ujung utara lapangan, seorang anak sibuk mengulur gelasan. Mengarahkan layang-layangnya ke arahku. Sepertinya masih bocah ingusan kalau dilihat dari badan kecilnya.
Anak-anak yang tadi ikut berlarian sudah kembali memenuhi lapangan, satu orang sudah mendapatkan layang-layang, dia tertawa tawa dengan kertas segi empat kuning di tangannya. Yang lain sudah asik menonton duelku dengan anak kecil tadi. Aku tidak mengenalnya. Sepertinya bukan dari kampung kami. Jaraknya juga cukup jauh untukku bisa mengenali wajahnya lebih seksama.
"ayooo.. Jangan mau kalah." teriak mereka riuh di belakangku
Aku tenang menarik ulur gelasan di tanganku. Arah angin sedang berpihak padaku. Si layang-layang biru sudah mendekat, meliuk liuk mencari kesempatan menjatuhkanku.
Aku tidak pernah kalah. Sudah kubilang aku jagonya. Menantangku berarti bersiap untuk menjatuhkan layang-layang miliknya. Aku tersenyum. Anak ingusan tadi, entah, wajahnya tak terlihat jelas. Mungkin dia cemas.
Hampir sepuluh menit layang-layang kami beradu di angkasa. Sorak sorai semakin riuh. Ini pertandingan adu kuat yang cukup lama. Biasanya tak sampai dua menit, sabetan maut langsung memutus tali layang-layang lawan. Tapi si anak ingusan ini sulit juga dikalahkan.
Layang-layang musuh meliuk lagi di atasku, aku segera menarik gelasanku. Dan seettt.. Satu sabetan telah menjatuhkan sebuah layang-layang.. aku tersenyum puas, lalu menarik benang di tanganku yang tiba tiba terasa ringan.. aku mulai panik. Ooh.. Tidak, aku melihat layang-layang merahku terjun bebas di udara. Diiringi teriakan KEJAAARR dan lomba adu cepat bocah-bocah. Layang-layang biru masih asik menari. Melenggak-lenggok seolah mengejekku dengan tariannya. Terbang semakin rendah.
Aku mencelos. Kali ini aku kalah. Tergesa aku rapikan gelasan dan gulunganku, kemudian berlari ke arah anak ingusan tadi.
"hei.. " teriakku
Dia menoleh, dan ASTAGA.. Jantungku tiba tiba serasa berhenti.
Dia menatapku. Dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Ujung matanya menancap tepat di jantungku. Dia bahkan tidak tersenyum. Matanya menyelidik, seolah olah dia menelanjangiku dengan tatapannya.
"kamu...perempuan?" aku beku. Kakiku tidak mampu melangkah lebih dekat. Bocah ini tidak sampai setinggi daguku, tapi matanya, aku tak pernah melihat mata seperti mata miliknya sebelum ini. Tajam, menusuk. Usianya mungkin baru duabelas, atau tigabelas.
"iya, kenapa?" dia mencabut ujung matanya dari jantungku, mengawasi layang layang biru di udara. Aku bernafas lega. Lepas dari tatapan mautnya
"kamu mengalahkanku" kataku akhirnya
Dia menarik layang-layangnya. Menurunkannya dari langit yang sudah jingga. Sebentar lagi magrib datang. Dia bersiap pulang, kurasa.
"kamu tidak terima kalah, karena aku perempuan?" dia menggulung gelasan dengan cekatan. Merapikan layang-layang biru yang menjatuhkan layang-layangku. Kemudian mengulurkannya padaku
"kau boleh ambil kalau mau" aku ragu, tapi aku ambil juga layang-layang dari tangannya. Kali ini Senyumnya yang membekukanku, matanya yang tajam berganti mata teduh menyejukkan. Angin kencang memainkan anak rambutnya yang lepas dari ikatan. Membuatku semakin terpana. Dan saat semua kesadaran kembali padaku, dia sudah berlalu. Meninggalkan layang-layangnya di tanganku, dan membawa hatiku terbang bersamanya.
*thanks to ibek, buat gambarnya
Langganan:
Postingan (Atom)