Jumat, 29 November 2013

Segelas air hangat #2


segelas air hangat.

Seorang perempuan menggenggam segelas air hangat dengan erat, seolah dari sanalah semua kekuatan dirinya berasal. Atau mungkin Ia hanya sekedar  ingin menyalurkan kehangatan supaya menjalar ke setiap centi tubuhnya. Dihirupnya uap yang terkepul dalam-dalam, melegakan rongga nafasnya. Matanya entah sedang menatap apa. Hanya pandangan kosong ke kejauhan.

Senyuman tersungging di bibirnya, ketika sebuah ingatan menelusup di kepalanya. Saat ketika seorang lelaki duduk di depannya, dan mengulurkan segelas air hangat ke depan wajahnya. Membiarkan uapnya meliuk-liuk masuk ke hidungnya yang buntu. Bukan karena ia sedang flu, hanya saja ia terlalu banyak menangis hari itu.

***

“Minum air hangat ini, biar enakan” Lelaki itu menyentuhkan gelas ke bibirnya, Ia menyambut dengan senyum dan membiarkan air hangat itu masuk ke mulutnya. Menahannya ragu, namun kemudian ditelan juga,  pelan-pelan merayapi kerongkongan, lalu tumpah di lambung, menghangatkan perutnya yang kosong sejak semalam.

Ia ingat, saat itu ia bahkan tidak mengucapkan terimakasih. Ia hanya diam. Kemudian melanjutkan minum, seteguk demi seteguk. Hingga tandas.

“Sampai saat ini aku yakin, air hangat  adalah  obat mujarab untuk segala jenis penyakit” Tangan sang lelaki menyentuh  punggung tangannya, lebih hangat dari gelas itu, fikirnya. Dan rasa nyaman mengalir pelan, hingga memenuhi hatinya. Tidak salah Ia pergi ke tempat itu, lelaki di depannya selalu memberikan rasa aman dan nyaman lebih dari siapapun.

“Sudah baikan?” Lelaki itu bertanya, dan ia hanya menjawab dengan anggukan pelan.

Sekilas, senyuman samar terlihat di sudut bibirnya. Mukanya pucat, matanya sembab, tapi perasaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, saat Ia pergi dari rumah, berjalan tanpa arah, memutuskan mencegat taksi, kemudian berdiri mematung di depan rumah lelaki yang kini ada di hadapannya. Ia sengaja tidak mengetuk pintu. Hanya menunggu sampai tuan rumah membuka pintunya.

“Kenapa tadi  tidak mengetuk pintu?” Lelaki itu kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini ia jawab dengan menggeleng. Tidak apa-apa.

“Untung saja tadi aku berniat keluar rumah. Coba kalo aku memutuskan tidur seharian saja. Kamu bisa berdiri seharian di depan pintu” Ia tersenyum lagi, tahu kebiasaan tidur lelaki itu. Dia bisa tidur dari pagi sampai sore, dari sore sampai pagi lagi. Tidak ada lelahnya.

“Berapa lama kamu di luar?” Pertanyaan lagi, tapi ia masih saja bungkam

“Baiklah, kalau kamu belum mau bicara”  Ia ditinggalkan sendiri sambil memandangi gelas kosong di tangannya. Merenungi sesuatu? Entahlah. Ia hanya terkenang suaminya.

***

Lelaki itu tidak mau mengira-ngira apa penyebab perempuan itu datang dengan wajah sendu. Jika memang dia perlu tahu, perempuan itu pasti akan bercerita. Bukankah di antara mereka tidak pernah ada rahasia? Paling tidak, dulu sebelum perempuan itu menikah dan meninggalkan rongga kosong di hatinya.

Tentu saja dia merasa kehilangan saat perempuan yang sekarang duduk tanpa semangat di sofa ruang tamunya memutuskan untuk menikah. Tapi itu pilihannya, dia sama sekali tidak bisa menahan. Kebahagian perempuan itu adalah kebahagianya juga. Tapi melihat perempuan yang dikasihinya terlhihat begitu nelangsa, dia tak tahan. Seolah-olah, dia ikut merasakan sakit yang ia rasakan.

Perempuan itu gusar, ia ingin bercerita. Mungkin dengan menceritakan apa yang terjadi, bisa melelehkan sedikit demi sedikit rasa sakit di hatinya. Tapi, urung ia lakukan. Lelaki ini mempunyai cinta yang lebih besar untuknya, dan sedikit saja suaminya melakukan kesalahan, bisa menjadi jalan untuk lelaki itu ikut masuk ke kehidupan rumahtangganya. Ia belum mau hal itu terjadi.

“Kamu selalu bisa kembali padaku, kapanpun kamu mau. Tapi tentunya aku berharap kamu tidak menggunakan hak itu.” Ia masih teringat kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu sebelum suaminya dulu datang melamar.

Membayangkan suaminya, hanya mengundang pilu dan tangis yang baru. Semalam, ia membuka ponsel suaminya. Menemukan sederet pesan yang tak pernah ia duga. Hatinya getir, mengingat suaminya bahkan lupa bagaimana berkata-kata manis padanya, tetapi serentetan pesan yang Ia baca, begitu mesranya. Dan semua ditujukan hanya untuk satu nama. Nama perempuan. Entah siapa.

Lama ia memandangi wajah pulas suaminya. Hendak membangunkan, menuntut penjelasan. Tapi, tak kuasa ia mengganggu lelap suaminya. Bukankah suaminya baru pulang larut malam tadi, setelah katanya menghadiri rapat dengan rekan bisnisnya. Betulkah rapat? Atau apa? Akhirnya ia putuskan, tak akan bertanya. Menunggu suaminya untuk jujur, tanpa diminta.

Lama kelamaan, rasa ragu makin merimbun di hati dan fikirannya. Prasangka demi prasangka tumpang tindih, sesak di hati dan kepalanya. Pantas saja belakangan ini ponsel suaminya sering sibuk jika Ia telpon, pulang lebih malam, sms hampir tak pernah. Sudah berapa akhir pekan hanya mereka habiskan di rumah saja. Tidak ada jalan-jalan ke luar kota, tidak ada acara nonton midnight. Atau sekedar duduk bersama di teras, sambil membaca buku.

Sejak kapan, suaminya mulai bermain-main dengan perempuan itu? Sejauh mana hubungan mereka? Ia hanya bisa menebak-nebak. Tapi, sms itu saja sudah bukti penghianatan. Dan ia sama sekali tidak memberi toleransi atas semua jenis kebohongan. Sejak hari itu Ia berjanji, tidak akan terlalu mudah mempercayai semua ucapan suaminya.

Perempuan itu kembali ke masa kini, memandangi langit senja yang lembayung di ufuk barat. Gelasnya sudah tidak sehangat tadi, tapi matanya kian panas, sesak oleh air mata.

***

Hari ini, kembali perempuan itu mematung di depan jendela, memegang gelas kosong yang tadinya berisi air hangat. Sama seperti lelaki yang mengenalkannya dengan air hangat, Ia meyakini, air hangat adalah obat dari segala jenis penyakit. Setiap hari, tak kurang dari delapan gelas air putih hangat dia habiskan. Terlebih lagi saat hujan seperti ini.

Pohon mangga di halaman rumahnya meliuk-liuk diterpa angin. Badannya mulai menggigil, dieratkannya sweater abu-abu ke dadanya. Suara rintik hujan bagai menabuh genting dengan suara berdebam, gaduh.

Pukul sembilan, diliriknya jam di dinding ruang tamu. Suaminya belum juga pulang. Tidak ada sms, tidak ada telepon, tidak ada kabar sama sekali. Perasaannya diliputi banyak pertanyaan, serta curiga. Dan tak ketinggalan cemburu.

Kemarin, suaminya baru pulang setelah tengah malam. Sudah dua hari berturut-turut. Seharian tidak ada kabar, baru malamnya mengirim sms. Singkat saja “aku tidak pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Perempuan itu mengamini, semoga betul begitu. Semoga bukan karena hal lain.

Dan sms balasan terkirim “semoga cepat selesai pekerjaannya”. Lalu sepi, tidak ada pembicaraan lagi. Tidak ada kata-kata maaf karena harus pulang terlambat, maaf tidak bisa menemani makan malam. Tidak ada. Hanya itu saja.

Lalu semalaman perempuan itu menatap langit-langit kamar, mencoba menghilangkan semua prasangka buruk di hatinya. Menghapus semua kemungkinan buruk. Meyakinkan hatinya, bahwa suaminya benar-benar sedang sibuk. Bahwa betul sekali pekerjaannya menanti untuk segera diselesaikan. Lalu berpura-pura tertidur lelap saat suara pintu kamar dibuka. Tengah malam, suaminya baru pulang.

Tapi sayang, sms yang dia temukan malam malam sebelumnya terus saja menghantui fikirannya. Menjadi kabut di hatinya. Dia tidak lagi percaya, tidak lagi menelan bulat-bulat perkataan suaminya. Tidak seperti dulu, yang selalu meyakini  apapun yang suaminya katakan.

Dan malam ini, kembali sms yang sama masuk ke ponselnya “Aku tidak pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Sepertinya suaminya bahkan tidak repot mengetikkan sms baru. Mungkin dia hanya mengirim ulang sms hari kemarin, dan kemarinnya lagi. Begitu sibuknyakah dia?

Dengan sisa kepercayaannya, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk suaminya di kantornya. Membawakan makan malam. Kerang saos padang sudah dia hangatkan tadi, nasi selalu panas, tumis taoge, dan cumi goreng tepung. Semua spesial kesukaan suaminya.

Dia mengemasi makan malam, menelpon taksi, menunggu tak sabar sampai taksi itu tiba di depan rumahnya. Jika benar suaminya lembur, maka dia akan dengan senang hati menemaninya makan malam sebentar, lalu kembali pulang. Tapi bila tidak? Dia tahu harus ke mana.

Hujan tinggal menyisakan rintik gerimis. Gedung perkantoran tempat suaminya bekerja sudah senyap. Dia bertanya kepada satpam, apakah melihat suaminya. Mereka semua kompak menjawab sudah pulang. Semua lampu sudah dimatikan.

“Masih lembur mas?” Dikirimkannya sms ke nomor suaminya. Tak lama jawaban masuk

“Iya. Kamu tidur duluan saja. Tak usah menunggu”

“Lembur di mana?”

“Di kantor lah dek. Di mana lagi?”

“Aku di kantormu”

Tiba-tiba petir menggelegar, hujan kembali tumpah dengan derasnya. Bersamaan dengan menetesnya air mata dari sudut matanya. Taksi yang mengantarnya masih menunggu di halaman kantor. Sudah habis semua sisa-sisa kepercayaan yang dia punya. Dia tidak perlu tahu ke mana suaminya pergi. Satu kebohongan itu saja sudah cukup menjelaskan.

Taksi membelah jalanan yang basah. Sesekali supir taksi menengok ke belakang, khawatir pada penumpangnya yang menangis di jok belakang. Terlebih, dia tidak meminta diantarkan ke rumahnya.

Berkali-kali ponselnya bergetar di genggaman. Telepon masuk dari suaminya. Tidak ia hiraukan. Ia tidak mau mendengar apa-apa. Ia tidak sedang ingin mendengar penjelasan apa-apa. Sekali dusta, selamanya dusta. Bukankah begitu?

“Tidak pulang ke rumah bu?” Tanya supir taksi itu sopan.

“Lurus saja pak, belok kiri di pertigaan depan” Ia menginstruksi dari jok belakang, sambil menyeka air mata dan ingus dengan tisu.

Panggilan masuk lagi ke ponselnya. Masih dari suaminya. Kali ini dia tekan tombol reject. Sebentar lagi ia sampai ke rumah yang dituju. Saat ini yang ia butuhkan hanya segelas air hangat, dan pelukan. Sweater abu-abunya basah saat dia berlari menembus hujan. Dibiarkannya hujan menyembunyikan air matanya.

“Ada apa sayang?” Lelaki itu panik mendapati perempuan itu menggigil di depan rumahnya. Ketukan di pintu rumahnya sayup terdengar, kalah oleh bunyi petir yang menggelegar.

Lelaki itu menuntunnya ke ruang tamu, menyodorkan handuk kering.

“Keringkan badanmu. Cepat ganti baju!” Perempuan itu menurut. Ia masuk ke sebuah kamar, mengganti baju, lalu kembali ke ruang tamu. Didapatinya lelaki itu dan segelas air hangat di meja, serta tanya di matanya. Ia duduk di sampingnya.

“Air hangat ini, tidak bisa menyembuhkan sakit hati dan kekecewaan. Aku bahkan ragu, apakah ada obat untuk dua penyakit itu?” Diletakkannya gelas kosong di meja, setelah meminum dengan rakus isinya.

“Ada apa?” Wajah khawatir lelaki itu tak bisa disembunyikan.

“Ayah, aku pulang..” Ia menghambur ke pelukan sang ayah. Lalu tak ada kata-kata lagi. Hanya tangisan, suara getar ponsel di meja, dan geram marah sang ayah.

Jumat, 01 November 2013

denting

ada suara di kepalaku
seperti genta, mendentam-dentam
marah! marah saja!
perintahnya

suara itu
membawa geram
aku tak suka

kuhembus nafas
panjang-panjang
pelan

genta itu melemah
lalu senyap

suara-suara menghilang dari kepala
hingga bisa kudengar
denting gelas beradu
membawaku kembali ke hadapannya

tidak, aku tidak marah
bisikku