Bali, Es krim, dan Sebuah Janji
Haruskah aku menghubunginya? Kesembilan kalinya aku
menekan sebelas angka yang aku hafal di luar kepala. Kemudian kembali diam
memandangi angka-angka yang berbaris kaku di layar ponsel. Menggumamkannya,
mencocokkan dengan ingatan. Namun setelah yakin itu nomor yang benar, tidak ada
keberanian untuk menekan tombol panggil. Takut untuk memulai pembicaraan.
Lama aku mengawasi layar ponselku, seolah angka-angkanya akan
menghambur keluar bila aku lengah sebentar saja. Akankah dia mereject panggilanku? Sudah lama sekali
kami tidak saling menghubungi. Walaupun dalam lima tahun ini, secara
rutin aku meneleponnya. Tidak pernah ada pembicaraan memang. Aku hanya
memastikan terdengar nada sambung, lalu mematikan teleponku lagi. Tentu saja aku
tak pernah lupa menyembunyikan identitas nomorku sebelum melakukan semua itu.
Lantas, aku harus bagaimana? Belum bosan aku mengamati
deretan kaku sebelas angka di ponselku. Lengkap. Tak kurang satu angkapun.
Hanya kurang keberanian untuk menekan tombol panggil di sebelah kiri. Haruskah
aku menggenapinya? Menempelkan ibu jariku di sana. Atau aku hapus kembali?
Kemudian melanjutkan kegalauanku.
Benakku semakin sibuk menerka-nerka. Apakah dia akan
menyambut dingin telepon dariku? Atau sebaliknya? Dia senang karena aku kembali
menghubunginya, lalu pembicaraan mengalir seperti biasanya. Ah, tentu saja aku
tidak akan pernah tahu seperti apa jadinya, kecuali jika aku berani melakukan
panggilan itu.
Ya Tuhan, aku menghabiskan dua puluh menit hanya untuk
memelototi layar ponsel. Menimangnya dengan perasaan ragu. Menakar-nakar
keberanian, menghitung ya dan tidak bergantian. Perlu berapa lama lagi supaya
aku yakin untuk menelepon? Atau bahkan sebaliknya. Merasa pasti untuk tidak
perlu menghubungi. Seperti selama ini. Tidak saling menyentuh kehidupan
masing-masing.
“Kamu mau ikutan games?” Tiba-tiba Rey muncul dari
tangga. Membuyarkan semua lamunanku. Aku menggeleng pelan. Sebelum aku
benar-benar memutuskan untuk menelepon atau tidak, sepertinya jiwaku tidak akan
tenang.
Tanpa diminta, Rey masuk ke rumah pohon. Duduk bersandar di
depanku. Oke, urusan telepon menelepon ini benar-benar menguras tenaga, waktu,
dan fikiranku. Aku sampai lupa kalau sekarang aku berada di tempat yang luar
biasa.
Teman-teman satu divisi di kantorku merencanakan liburan ini
beberapa minggu yang lalu. Dan Rey, si gudangnya ide menemukan tempat ini entah
dari mana. Aku tahu, Bali adalah tempat yang indah. Tapi tempat ini, jauh dari
apa yang ada dalam bayang-bayangku. Rey tidak hanya mengajak kami menikmati
Pantai Nusa Dua yang sudah mendunia. Lebih dari itu, Ia membawa kami ke alam
mimpi.
Aku tercengang disuguhi suasana romantis dari temaram obor
dan api unggun. Memekik histeris mendapati sebuah kapal terdampar di atas
pasir. Dan aku tak bisa menahan diri untuk segera bertengger di salah satu
rumah pohonnya yang mempesona.
Malam ini sempurna. Suara debur ombak, angin sejuk membuai,
juga makanan yang lezat. Aku hampir saja menghabiskan pirates basket sendirian.
Padahal porsinya cukup untuk mengenyangkan enam orang. Keriangan menyelimuti
kami. Puas dengan liburan kali ini, dan sangat puas dengan pilihan Rey. Tapi
sayangnya, seporsi es krim yang mampir ke hadapanku, memanggil ingatan dari
masa lalu.
"Kok ga ada bazar buku Nay?" Aku dan dia
kebingungan. Sepertinya kami salah alamat. Di sekeliling kami berderet stan yang
penuh dengan beragam jenis surat undangan.
"Aku juga ga ngerti. Perasaan kemaren spanduknya bazar
buku deh. Apa aku salah liat?" Aku tersenyum, dan mengambil brosur dari
salah satu stan. Kami berjalan bersisian. Seolah pasangan yang sedang mencari
model surat undangan.
"Nay, gimana kalo yang duluan nikah di antara kita wajib
traktir es krim. Semacem pelangkah gitu" Dia tiba-tiba mencetuskan gagasan
yang aneh.
"Pinneaple paradise, untuk Nayla sang ratu es krim"
Rey bertingkah bak pelayan restoran. Menyajikannya khusus untukku. Aku sibuk dengan fikiranku sendiri. Bali, es
krim, tropical fruit. Otakku terus menerus memutar ulang adegan delapan tahun
silam.
"Tapi, nraktirnya harus di Bali. Es krimnya ditaro di
atas tropical fruit, terus dimakan sambil nikmatin pantai, dibuai angin laut
yang beraroma garam..." Aku melanjutkan
"Janji ya?" Dia menyodorkan
jari kelingkingnya di hadapanku.
"Janji" Aku kaitkan jari kelingkingku dengan
miliknya. Janji yang aku sesali di kemudian hari.
Aku menghabiskan desertku setengah hati. Urusan hati ini
memang perusak suasana. Beberapa menit kemudian aku sudah menghilang dari
keramaian. Teronggok di puncak rumah pohon. Tidak melakukan apa-apa selain
memencet sebelas nomor yang aku hafal di luar kepala, menimbang-nimbang
meneleponnya atau tidak, lalu menghapusnya lagi. Lalu memencet nomor yang sama,
lalu melamun, lalu menghapusnya lagi. Begitu berkali-kali. Hingga Rey muncul.
Haruskan aku menceritakan pada Rey, bahwa kawannya ini pernah
tergila-gila pada seorang pria? Yang namanya tak pernah henti aku teriakkan
dalam hati. Teriakan marah, dan putus asa. Dia yang tiba-tiba mengatakan bahwa
dia mau menikah. Menghancurkan duniaku yang memang sudah jungkir balik
dibuatnya.
Sekarang, setelah lima tahun ini aku bersusah payah berdamai
dengan perasaanku tentangnya. Saat aku mulai terbiasa menjalani kehidupan tanpa
Dia, fikiran tentangnya kembali mengusikku. Dan semua itu hanya karena es krim.
Rey tidak mengatakan apa-apa. Menungguku menjelaskan apa yang
sedang aku lakukan sendirian di rumah pohon. Dan tatapan itu, apakah Rey selama
ini memandangku dengan tatapan yang sama? Tatapan itu, persis seperti caraku
menatap DIA dulu.
“Aku mau menelepon, Rey” kataku akhirnya. Rey mengerti, dia
memberiku ruang.
“Aku tunggu di bawah ya” Ia bangkit. Aku mengangguk pasti.
Aku yakin panggilan telepon ini tidak membutuhkan waktu lama.
Aku mengela nafas panjang. Walaupun sedikit gugup, tapi aku
merasa pasti dan yakin. Ini kesepuluh kalinya aku menekan sebelas angka
yang aku hafal di luar kepala. Bedanya, kali ini tanpa ragu aku tekan tombol
panggil.
Tuuut... nada sambung pertama, aku terhubung lagi dengannya.
Tuuut... nada sambung kedua, aku mengatur nafas.
Tuuut... ceklik.. “Halo” Itu suaranya.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Aku menarik nafas panjang.
“Halo” ini kata pertama dariku, setelah lima tahun.
Kemudian hening. Baik aku maupun dia tidak mengeluarkan
suara.
“Hai.. Nayla” Katanya canggung. Entah ia mengingat suaraku,
atau masih menyimpan nomor ponselku. Yang jelas, dia masih mengenaliku.
“Hai.. apa kabar?” Kalimat pertamaku, setelah lima tahun.
“Aku baik Nay. Kamu ke mana aja?” Jeda
”Lama sekali Nay, ga ada kabar dari kamu.”
“Ada aja. Aku pulang ke Bandung” Rasanya aku tak perlu
mengatakan padanya. Setelah keputusannya untuk menikah, aku pulang ke rumah
orangtuaku di Bandung. Meninggalkan pekerjaan di Surabaya dengan segala
kenangan tentang DIA. Menghindarinya. Aku bahkan tidak berpamitan untuk itu.
Dan tidak mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Gimana kabar istri ama anak? Sehat kan?” Aku heran. Debar
cemburu saat aku memikirkan istrinya, sudah tak ada lagi. Apa karena aku sudah
benar-benar rela untuk melepaskan perasaan yang pernah ada untuknya?
Mungkin saja.
Lalu ceritanya tentang Nayyara –yang juga dipanggil Nay-,
tentang segala tingkah lucunya, mendominasi pembicaraan. Beberapa
kali DIA juga bercerita tentang istrinya. Aku ikut merasakan kebahagiaannya.
Dan aku yakin aku bisa mendapatkan kebahagiaanku sendiri, walaupun bukan dengan
DIA.
Cukup 10 menit, untuk melelehkan kekakuan selama 5 tahun. Selama
itu, detak jantungku berpacu normal. Tidak ada keringat dingin. Apakah perasaanku
untuknya sudah benar-benar tak bersisa? Kami melumer seperti es krim. Aku yakin
nanti kami bisa bersahabat seperti sebelumnya. Sebelum perasaan yang rumit di
hatiku tumbuh dan merusak semuanya.
“By the way, kamu berutang es krim padaku” Ah, aku tak pernah
melupakan janji. Termasuk janjinya. Janji es krim ini pula yang menyeret
ingatanku padanya.
“Masa?” Aku yakin kamu lupa.
“Kamu janji, yang nikah duluan di antara kita mesti nraktir
es krim. Tapi nraktirnya harus di Bali.” Perjanjian konyol yang kita ucapkan
waktu kita salah alamat. Rencana awal, menuju ke bazar buku. Tapi kita malah
tersasar ke Wedding Exhibition. Dan janji itu meluncur begitu saja
darimu.
Belum ada tanda-tanda dia akan memenuhi janjinya. Aku
tentunya tidak mengharapkan sekarang juga DIA dan keluarganya segera terbang dari
Surabaya ke Bali. Yang paling penting bagiku, aku bisa memperbaiki kesalahanku
di masa lalu. Aku tidak bisa begitu saja kehilangan sahabat terbaik.
"Aku minta maaf. Sudah merusak persahabatan kita. Aku
lupa kalau kamu berhak mencintai siapapun. Dan menikah, dengan wanita
manapun" Aku lega, bisa mengatakan semua ini. Walaupun, perlu waktu yang
lama untuk menyadarinya.
"Aku juga minta maaf, karena sebelumnya tidak pernah
bercerita tentang calon istriku. Mengejutkanmu dengan undangan tiba-tiba. Dan,
aku betul-betul meminta maaf karena tidak peka dengan perasaanmu Nay. Aku
betul-betul tidak tahu" Aku memang tidak pernah mengutarakannya pada
siapapun. Jadi, rasanya egois sekali jika aku menuntutmu untuk mengerti apa
yang sama sekali tidak kau ketahui.
Kali ini aku bisa tersenyum lebar. Beban yang aku tanggung
lima tahun belakangan, sudah berhasil aku singkirkan. Aku berhasil melepaskan
perasaan itu. Dengan langkah lebih ringan, aku menuruni anak tangga.
“Eh, kamu masih di sini Rey?” Aku mendapati pria bermata
coklat itu di dasar tangga, yang beberapa tahun ini menjadi teman
terbaikku. Walaupun aku sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa tentang
DIA, yang baru saja aku telepon.
“Ayo, kita main treasure hunt” Rey menghampiriku. Aku
menyambut uluran tangannya
“Bukannya itu games
untuk anak-anak?” Rey tidak menjawab. Dan aku tidak membantah,
menurut saja saat dia membawaku ke atas dek kapal. Aku kehabisan
kata-kata. Rey menyuguhiku pemandangan, dan suasana yang menakjubkan.
“Temen-temen udah pada balik ke hotel. Kamu kelamaan di rumah
pohon tadi, jadi ngelewatin banyak acara seru. Silahkan duduk, Nay” Ditariknya
sebuah kursi untukku. Aku tak lupa mengucapkan terimakasih.
“Dan aku mau berburu harta karun di sini” Lanjutnya. Ia duduk
persis di sebrangku. Cahaya obor temaram, suara debur ombak, angin laut
berhembus kencang, wangi udara penuh garam. Dan sepasang mata yang tak lepas
menatapku. Rasanya aku ingin membungkus malam yang sempurna ini. Menyimpannya.
"Berburu apa?" Alisku pasti sudah bertaut
jadi satu. Tidak mengerti dengan permainan Rey malam ini. Terlalu sering dia membawa
kejutan. Dan aku tak bisa menebak yang satu ini.
“Aku mau berburu hati kamu” Dia menancapkan tatapannya tepat
di retinaku. Aku menahan nafas, menunggu. Siapa tahu ini hanya jebakan. Mungkin
saja dia hanya bercanda.
“Aku serius Nay” Seolah Rey tahu apa yang aku fikirkan.
Diraihnya tanganku. Mengusapnya lembut, meyakinkanku. Aku hanya
diam, mencoba memahami.
Sekarang aku tahu, mengapa malam ini aku tiba-tiba
tergerak untuk menghubung DIA –masih belum terbiasa aku menyebut namanya-.
Mungkin agar aku bisa mendeklarasikan kebebasanku. Karena aku sudah
merelakan untuk melepas perasaan yang usang dan tanpa harapan. Kemudian
bersiap untuk menyambut kebahagiaanku sendiri. Hari ini aku bahagia. Walaupun
aku belum tahu, seperti apa ceritaku dengan Rey nantinya. Semoga saja, tak
perlu membuat janji es krim lagi
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!