Jumat, 24 Januari 2014

Hujan





aku hanya bisa menjangkaumu dengan ujung jemariku
Itupun hanya wujudmu yang mengembun di jendela
dinding ini membelenggu
padahal aku ingin berlari ke tanah lapang
merasakan derasmu di sekujur tubuhku

aku ingin menyambut panggilanmu
kau yang berteriak-teriak gaduh di genting rumahku
dinding ini membelenggu
padahal aku ingin berlari ke tanah lapang
mengahbiskan waktu berdansa denganmu

lalu kaupun bosan
suaramu semakin lirih..
kian lirih
lalu berhenti

secepat itu kau reda
tidak memberiku waktu menikmati alunan musikmu
meninggalkanku yang masih gigil oleh dinginmu

dan kaupun benar-benar reda
meninggalkan telaga kerontang di dada

Kamis, 23 Januari 2014

Nani Berhenti Tersenyum

Nani berhenti tersenyum
Darah menetes-netes setiap kali ditariknya dua ujung bibirnya ke kanan dan ke kiri
Sakit tentu
karena itulah ia berhenti tersenyum

Nani berhenti tersenyum
Mang Yana tukang ojek yang mangkal di depan gang rumahnya jadi cemberut

Nani berhenti tersenyum
Kang Eman tukang sayur yang sering lewat di depan rumahnya langsung merengut

Nani berhenti tersenyum
Pak Bagyo ketua RW yang terkenal di kampungnya bersungut-sungut

Nani berhenti tersenyum
Wati penjahit baju yang rumahnya di ujung gang mesam mesem
Menawarkan senyum pada Mang Yana

Nani berhenti tersenyum
Mbak Nung penjual pecel di dekat rumahnya terkikik-kikik
Mengembangkan senyum pada Kang Eman

Nani berhenti tersenyum
Bu Bagyo istri pak RW yang galak tertawa terbahak
Tersenyum simpul sambil menggamit lengan pak RW


Senin, 20 Januari 2014

Hibiscus Rosa-Sinensis

"Hibiscus rosa-sinensis" Bisikmu lirih
"Kembang sepatu" Kataku sambil mengulurkan tangan, mencoba memetik merahnya.
"Jangan!" Pekikmu.
"Jangan petik!" Kau pelankan suaramu. Tanganmu menggantung di udara, isyarat menahanku mengambil bunga itu.
"Bunga ini sepertinya bagus menghias rambut kita" Aku menarik tanganku. Kikuk.

"Tidak mempercantik sama sekali" Katamu sambil bergegas, memacu langkah. Suara tuk tuk tuk sepatu berhak tinggimu menggema di sepanjang trotoar.
"Hibiscus rosa-sinensis" Bisikmu lagi.
"Ada apa dengan si hisbis hisbis ini?" Aku ikut-ikutan ngebut, mensejajari langkahmu.
"Hibiscus rosa-sinensis. Dari bunga itu, aku mengambil namaku. Rosa" Kamu tiba-tiba menghentikan langkah. Sepatu jinjitku hampir membuatku terpeleset saat aku ikut berhenti mendadak.
"Aku mengamati bunga itu di kelas biologi SMP dulu. Dan menertawainya bersama seisi kelas saat guruku sampai kepada kesimpulan Hibiscus rosa-sinensis memiliki putik dan benangsari, dua alat kelamin. Dia banci" Kamu masih mematung. Entah memandang apa di kejauhan. Semoga saja bukan karena kamu kesambet hantu pohon jambu. Jakunku naik turun menelan ludah, merasakan emosi yang menguar dari matamu. Aku faham. Bagimu itu bukan hanya kembang sepatu.

Aku membiarkan angin malam mengisi diam di antara Kita. Menceracau sendiri. Aku tidak tahu kalau bunga punya jenis kelamin seperti manusia. Aku bahkan tidak bisa menyebut namanya hibisus hibisus entah apa itu. Bagiku itu hanya bunga sepatu. Tapi bagimu, mungkin semacam simbol diri.
Suara tuk tuk sepatu jinjit kita dan desau angin yang semakin berguruh mengisi kebisuan sepanjang sisa perjalanan. Mengantarkan kita ke taman di sudut kota. Ada banyak kembang sepatu di sana. Juga Rosa lainnya, menunggu tangan-tangan usil yang siap memetik.

Jumat, 17 Januari 2014

Iris...

sepertinya coklat matamu memang seharusnya bernama iris
ia mampu mengiris hatiku hingga serpihan kecil
sama sekali tidak membuat teduh

hanya tajam, menusuk,
kemudian sesuai dengan namamu, mengiris dengan keji




Sesingkat hujan?


Sederas apapun hujan turun, ia pasti berhenti bukan?
Serupa cinta yang datang menggebu membabi buta
Lalu lenyap tiba-tiba

Tapi setergesa apapun hadirnya, hujan selalu meninggalkan jejak bukan?
Seperti cinta yang meninggalkan kenangan
Dan tak mudah lekang