Selasa, 22 April 2014

Di Persimpangan

Di Persimpangan
Oleh : Nuri Feriska

Nayla sibuk menghalau laju kendaraan dengan lambaian tangannya. Dengan langkah perlahan, dia membelah jalanan padat di persimpangan. Sebuah perpustakaan berdiri sunyi di sebelah barat, bersebrangan dengan museum yang tak kalah sepinya. Senja bergelayut, langit biru memudar.
Persimpangan inikah? Nayla tiba-tiba tertegun saat tiba di sisi jalan yang lain. Namun hanya sepintas lalu. Dia menaiki salah satu becak yang berderet, dan menyebutkan sebuah alamat.
Lupa sudah Dia pada percakapan singkat di jam istirahat kantor. Saat seorang pria yang baru dilihatnya menyapa di depan lift kantor.
"Aku sering melihatmu di persimpangan" Katanya dengan senyum terkulum rapi di kedua sudut bibirnya. Nayla hanya ber ooh bulat dan mengangguk sopan. Persimpangan mana? Dia tak yakin .

***

Senja ini jalanan lebih ramai dari biasanya. Para pengendara tidak mengacuhkan lambaian tangan Nayla. Dia berjalan tersendat. Takut ada kendaraan yang menyerempet tubuhnya. Semua sepertinya sedang terburu-buru. Tak ada yang mau mengalah.
Persimpangan ini. Batinnya. Istirahat tadi, dia kembali bertemu pria yang menyapanya beberapa hari lalu. Ia memperkenalkan diri sebagai Rey, pegawai baru.
"Aku kemarin melihatmu lagi di persimpangan" Katanya lagi saat mereka berdua menunggu lift.
"Persimpangan mana?" Akhirnya Nayla menanyakan kebingungannya. Keduanya memasuki lift yang terbuka. Berdua.
"Antara museum dan perpustakaan kota" Jawab Rey. Nayla kembali ber oo bulat dan mengangguk sopan. Denting lift terdengar sebelum pintu terbuka. Lalu keduanya berjalan ke arah yang berlawanan.
***
Setelah turun dari bisnya, Nayla berhenti sejenak, tidak terburu-buru untuk menyebrang. Perpustakaan kota masih sesunyi kemarin-kemarin, begitu pula museum di sebrangnya. Tak kalah sepi.
Agak aneh tingkah dia sore ini, memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di depannya. Mencari-cari. Adakah Rey di antara ratusan kendaraan itu? Apakah Rey hari ini melihatku? Batinnya.
Empat purnama berlalu sejak pertemuan mereka. Hampir setiap hari Rey menyapa Nayla di depan lift, saat jam istirahat. Saling bertukar senyum, lalu cerita. Tak jarang keduanya makan siang bersama di kantin. Atau sekedar minum kopi di kafetaria.
Nayla merasakan gelenyar aneh di perutnya setiap kali pintu lift tertutup, yang seringkali menyekap mereka hanya berdua. Jantungnya seperti mau melompat dari rongganya, berdegup kian kencang. Nayla mulai cemas. Tapi sekaligus menikmati. Terlebih setiap kali Rey menatapnya lamat-lamat.
Lima menit sepertinya cukup untuknya mencari-cari tanpa hasil. Tak ditemukannya wajah Rey. Kemudian dia melambaikan tangan, membelah jalanan. Senja sudah sempurna turun, jingga di angkasa. Tapi hati Nayla, masih sebiru langit pagi.
***
Sore ini, Nayla absen menumpang bis. Rey menawarkan mengantar Nayla pulang, rumah mereka searah. Di atas dua roda, Rey dan Nayla sibuk menenangkan hati masing-masing. Sepanjang perjalanan, mereka berdua lewati dalam diam. Tapi amat berisik di dada dan fikiran masing-masing. Bertanya-tanya tentang baik buruknya apa yang terjadi di antara mereka. Sampai hari ini, Nayla masih belum sepenuhnya meyakini apa yang dia dengar seminggu yang lalu.

"Aku mencintaimu" ungkap Rey tanpa ragu. Walau ia ucap cukup pelan, hanya sampai ke telinga Nayla. Memang padanya ungkapan itu ditujukan.
Nayla merasa tak perlu menjawab. Senyumnya sudah menjadi pertanda rasa yang sama. Rey kembali menatapnya lamat. Dan baru kali ini Nayla berani membalas tatapannya.
"Mata kamu coklat" Nayla bersemu merah saat menyadari spontanitasnya. Rey kembali memamerkan senyuman mautnya.

Sesampainya di persimpangan, dia cepat-cepat bersiap untuk menyebrang. Mengingat istri Rey yang sedang sakit, dia merasa  sedikit bersalah. Nayla sudah mengambil tempat duduk di belakang Rey sore ini. Juga mencuri sedikit ruang di hatinya.
Nayla mulai menjauh dari persimpangan,  menaiki sebuah becak setelah menyebutkan sebuah alamat. Sementara hatinya, tersesat di persimpangan. Beberapa kali diliriknya jam tangan di lengan kanannya. Semoga tidak terlambat. Dia ada janji, mengantarkan putrinya ke pesta ulang tahun teman sekolahnya.

Senin, 21 April 2014

Perempuan di Bingkai Jendela


Di bingkai sebuah jendela, berdiri seorang perempuan. Dia memandangi pendar keemasan dari langit senja. Sebagian cahayanya menerobos masuk melalui kaca, menyepuh benda-benda di dalam ruang tamu berukuran 4x4 itu -tak terkecuali lelaki yang duduk di salah satu kursi- menjadi berkilau.
"Seberapa besar cintamu untukku?" Perempuan itu bertanya kepada sang lelaki, matanya tetap terpaku ke barat. Tempat langit dipenuhi burung walet yang bersiap memulai hari. Mencari makan.
"Sangat besar tentunya. Cukup besar untuk membuatku selalu kembali padamu" Lelaki itu memandang punggung sang perempuan dengan kekaguman yang tampak nyata. Matahari senja semakin menonjolkan kecantikannya. Siluetnya yang langsing semampai dipadu gesturnya yang anggun adalah kecantikan yang sulit ditandingi.
"Masih memikirkannya?" Setelah jeda yang cukup lama, akhirnya lelaki itu memberanikan diri untuk bertanya.
Sang perempuan mendesah. Tentu saja dia tak pernah henti memikirkan pria yang dulu pernah menjadi suaminya.
"Tidak selalu, tapi ya. Tentu saja aku masih memikirkannya" Dia memilih menjawab dengan jujur. Siapa yang bisa lupa begitu saja pada penghianatan? Walau maaf mudah saja terucap. Tapi luka hati, ia menganga teramat lebar. Tak kunjung terobat.
Sang lelaki menyesal telah membuka keran masa lalu. Kini sosok tegar di depannya menjelma rapuh.
Dihampirinya ambang jendela. Menyebelahi perempuan itu, dia tawarkan pundaknya. Sang perempuan lega, dia tak perlu pura-pura tegar. Disandarkannya kepalanya dan mereka berpdiri bersebelahan, berpelukan
Perlahan, jingga memudar berganti pekat. Diiringi suara adzan. Perempuan menutup tirai jendela. Ia menengok ke lelaki di sebelahnya. Tampan sekali, batinnya.
"Ayo bersiap, kau tentu tidak mau terlambat bukan?" Perempuan menatap lelaki di sampingnya. Ajakannya disambut anggukan.
"Apakah lamaranku akan diterima?" Ada khawatir, dan gugup di dada lelaki. Perempuan tersenyum, maklum
"Ibu yakin nak"
"Ibu tetap jadi yang nomor satu, selalu"
"Ibu tahu"

Rabu, 16 April 2014

Secangkir hati yang kosong...


Bening matamu masih tertinggal di sudut ruangan itu. Tempat favorit kita menghabiskan senja. Sebuah sudut di ruang keluarga. Saat kau duduk di kursi kayu, menghirup uap yang terkepul dari teh hangat melati kesukaanmu. Kita duduk bersebrangan. Aku lebih banyak tertunduk. Dan kau, seperti biasa. Bening matamu selalu tajam menusuk.

Aku mengaku. Ya, aku mengaku telah berbuat curang di belakangmu.
"Aku tahu" katamu. Dan aku semakin tertunduk lesu. Terbebani sesal, dan malu.
"Aku cemburu" kataku "Begitu banyak pria di sekelilingmu" Usaha pembelaan diri yang tak perlu. Apapun alasannya, aku tetap bersalah.
Aku mendengar tarikan nafasmu sesekali. Berat dan dalam. Sesalkah kamu? Atau, itu amarah yang tertahan?
"You're still the one" Bisikmu sambil menyeruput teh yang semakin dingin. Sedingin hubungan kita. Mungkin aku yang menjadi sebabnya. Di usia pernikahan kita yang hampir mencapai angka lima, aku membuat perkara.
"Aku belum berhenti mencintaimu" Katamu sambil bangkit dari kursimu.
"Tapi aku akan belajar untuk itu" Dan kau sempurna berlalu. Meninggalkan cangkir kosong. Dan hatiku yang tiba-tiba melompong. Kehilanganmu.

: Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Selasa, 08 April 2014

Bali, Es Krim, dan Sebuah Janji




Bali, Es krim, dan Sebuah Janji

Haruskah aku menghubunginya? Kesembilan kalinya aku menekan sebelas angka yang aku hafal di luar kepala. Kemudian kembali diam memandangi angka-angka yang berbaris kaku di layar ponsel. Menggumamkannya, mencocokkan dengan ingatan. Namun setelah yakin itu nomor yang benar, tidak ada keberanian untuk menekan tombol panggil. Takut untuk memulai pembicaraan.
Lama aku mengawasi layar ponselku, seolah angka-angkanya akan menghambur keluar bila aku lengah sebentar saja. Akankah dia mereject panggilanku? Sudah lama sekali kami tidak saling menghubungi. Walaupun dalam lima tahun ini,  secara rutin aku meneleponnya. Tidak pernah ada pembicaraan memang. Aku hanya memastikan terdengar nada sambung, lalu mematikan teleponku lagi. Tentu saja aku tak pernah lupa menyembunyikan identitas nomorku sebelum melakukan semua itu.
Lantas, aku harus bagaimana? Belum bosan aku mengamati deretan kaku sebelas angka di ponselku. Lengkap. Tak kurang satu angkapun. Hanya kurang keberanian untuk menekan tombol panggil di sebelah kiri. Haruskah aku menggenapinya? Menempelkan ibu jariku di sana. Atau aku hapus kembali? Kemudian melanjutkan kegalauanku.
Benakku semakin sibuk menerka-nerka. Apakah dia akan menyambut dingin telepon dariku? Atau sebaliknya? Dia senang karena aku kembali menghubunginya, lalu pembicaraan mengalir seperti biasanya. Ah, tentu saja aku tidak akan pernah tahu seperti apa jadinya, kecuali jika aku berani melakukan panggilan itu.
Ya Tuhan, aku menghabiskan dua puluh menit hanya untuk memelototi layar ponsel. Menimangnya dengan perasaan ragu. Menakar-nakar keberanian, menghitung ya dan tidak bergantian. Perlu berapa lama lagi supaya aku yakin untuk menelepon? Atau bahkan sebaliknya. Merasa pasti untuk tidak perlu menghubungi. Seperti selama ini. Tidak saling menyentuh kehidupan masing-masing.
“Kamu mau ikutan games?” Tiba-tiba Rey muncul dari tangga. Membuyarkan semua lamunanku. Aku menggeleng pelan. Sebelum aku benar-benar memutuskan untuk menelepon atau tidak, sepertinya jiwaku tidak akan tenang.
Tanpa diminta, Rey masuk ke rumah pohon. Duduk bersandar di depanku. Oke, urusan telepon menelepon ini benar-benar menguras tenaga, waktu, dan fikiranku. Aku sampai lupa kalau sekarang aku berada di tempat yang luar biasa.
Teman-teman satu divisi di kantorku merencanakan liburan ini beberapa minggu yang lalu. Dan Rey, si gudangnya ide menemukan tempat ini entah dari mana. Aku tahu, Bali adalah tempat yang indah. Tapi tempat ini, jauh dari apa yang ada dalam bayang-bayangku. Rey tidak hanya mengajak kami menikmati Pantai Nusa Dua yang sudah mendunia. Lebih dari itu, Ia membawa kami ke alam mimpi.
Aku tercengang disuguhi suasana romantis dari temaram obor dan api unggun. Memekik histeris mendapati sebuah kapal terdampar di atas pasir. Dan aku tak bisa menahan diri untuk segera bertengger di salah satu rumah pohonnya yang mempesona.
Malam ini sempurna. Suara debur ombak, angin sejuk membuai, juga makanan yang lezat. Aku hampir saja menghabiskan pirates basket sendirian. Padahal porsinya cukup untuk mengenyangkan enam orang. Keriangan menyelimuti kami. Puas dengan liburan kali ini, dan sangat puas dengan pilihan Rey. Tapi sayangnya, seporsi es krim yang mampir ke hadapanku, memanggil ingatan dari masa lalu.
"Kok ga ada bazar buku Nay?" Aku dan dia kebingungan. Sepertinya kami salah alamat. Di sekeliling kami berderet stan yang penuh dengan beragam jenis surat undangan.
"Aku juga ga ngerti. Perasaan kemaren spanduknya bazar buku deh. Apa aku salah liat?" Aku tersenyum, dan mengambil brosur dari salah satu stan. Kami berjalan bersisian. Seolah pasangan yang sedang mencari model surat undangan.
"Nay, gimana kalo yang duluan nikah di antara kita wajib traktir es krim. Semacem pelangkah gitu" Dia tiba-tiba mencetuskan gagasan yang aneh.
"Pinneaple paradise, untuk Nayla sang ratu es krim" Rey bertingkah bak pelayan restoran. Menyajikannya khusus untukku. Aku sibuk dengan fikiranku sendiri. Bali, es krim, tropical fruit. Otakku terus menerus memutar ulang adegan delapan tahun silam.
"Tapi, nraktirnya harus di Bali. Es krimnya ditaro di atas tropical fruit, terus dimakan sambil nikmatin pantai, dibuai angin laut yang beraroma garam..." Aku melanjutkan
"Janji ya?" Dia menyodorkan jari kelingkingnya di hadapanku.            
"Janji" Aku kaitkan jari kelingkingku dengan miliknya. Janji yang aku sesali di kemudian hari.
Aku menghabiskan desertku setengah hati. Urusan hati ini memang perusak suasana. Beberapa menit kemudian aku sudah menghilang dari keramaian. Teronggok di puncak rumah pohon. Tidak melakukan apa-apa selain memencet sebelas nomor yang aku hafal di luar kepala, menimbang-nimbang meneleponnya atau tidak, lalu menghapusnya lagi. Lalu memencet nomor yang sama, lalu melamun, lalu menghapusnya lagi. Begitu berkali-kali. Hingga Rey muncul.
Haruskan aku menceritakan pada Rey, bahwa kawannya ini pernah tergila-gila pada seorang pria? Yang namanya tak pernah henti aku teriakkan dalam hati. Teriakan marah, dan putus asa. Dia yang tiba-tiba mengatakan bahwa dia mau menikah. Menghancurkan duniaku yang memang sudah jungkir balik dibuatnya.
Sekarang, setelah lima tahun ini aku bersusah payah berdamai dengan perasaanku tentangnya. Saat aku mulai terbiasa menjalani kehidupan tanpa Dia, fikiran tentangnya kembali mengusikku. Dan semua itu hanya karena es krim.
Rey tidak mengatakan apa-apa. Menungguku menjelaskan apa yang sedang aku lakukan sendirian di rumah pohon. Dan tatapan itu, apakah Rey selama ini memandangku dengan tatapan yang sama? Tatapan itu, persis seperti caraku menatap DIA dulu.
“Aku mau menelepon, Rey” kataku akhirnya. Rey mengerti, dia memberiku ruang.
“Aku tunggu di bawah ya” Ia bangkit. Aku mengangguk pasti. Aku yakin panggilan telepon ini tidak membutuhkan waktu lama.
Aku mengela nafas panjang. Walaupun sedikit gugup, tapi aku merasa pasti dan yakin. Ini kesepuluh kalinya aku menekan sebelas angka yang aku hafal di luar kepala. Bedanya, kali ini tanpa ragu aku tekan tombol panggil.
Tuuut... nada sambung pertama, aku terhubung lagi dengannya.
Tuuut... nada sambung kedua, aku mengatur nafas.
Tuuut... ceklik.. “Halo” Itu suaranya.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Aku menarik nafas panjang.
“Halo” ini kata pertama dariku, setelah lima tahun.
Kemudian hening. Baik aku maupun dia tidak mengeluarkan suara.
“Hai.. Nayla” Katanya canggung. Entah ia mengingat suaraku, atau masih menyimpan nomor ponselku. Yang jelas, dia masih mengenaliku.
“Hai.. apa kabar?” Kalimat pertamaku, setelah lima tahun.
“Aku baik Nay. Kamu ke mana aja?” Jeda
”Lama sekali Nay, ga ada kabar dari kamu.”
“Ada aja. Aku pulang ke Bandung” Rasanya aku tak perlu mengatakan padanya. Setelah keputusannya untuk menikah, aku pulang ke rumah orangtuaku di Bandung. Meninggalkan pekerjaan di Surabaya dengan segala kenangan tentang DIA. Menghindarinya. Aku bahkan tidak berpamitan untuk itu. Dan tidak mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Gimana kabar istri ama anak? Sehat kan?” Aku heran. Debar cemburu saat aku memikirkan istrinya, sudah tak ada lagi. Apa karena aku sudah benar-benar rela untuk melepaskan perasaan yang pernah ada untuknya? Mungkin saja.
Lalu ceritanya tentang Nayyara –yang juga dipanggil Nay-, tentang segala tingkah lucunya, mendominasi pembicaraan. Beberapa kali DIA juga bercerita tentang istrinya. Aku ikut merasakan kebahagiaannya. Dan aku yakin aku bisa mendapatkan kebahagiaanku sendiri, walaupun bukan dengan DIA.
Cukup 10 menit, untuk melelehkan kekakuan selama 5 tahun. Selama itu, detak jantungku berpacu normal. Tidak ada keringat dingin. Apakah perasaanku untuknya sudah benar-benar tak bersisa? Kami melumer seperti es krim. Aku yakin nanti kami bisa bersahabat seperti sebelumnya. Sebelum perasaan yang rumit di hatiku tumbuh dan merusak semuanya.
“By the way, kamu berutang es krim padaku” Ah, aku tak pernah melupakan janji. Termasuk janjinya. Janji es krim ini pula yang menyeret ingatanku padanya.
“Masa?” Aku yakin kamu lupa.
“Kamu janji, yang nikah duluan di antara kita mesti nraktir es krim. Tapi nraktirnya harus di Bali.” Perjanjian konyol yang kita ucapkan waktu kita salah alamat. Rencana awal, menuju ke bazar buku. Tapi kita malah tersasar ke Wedding Exhibition. Dan janji itu meluncur begitu saja darimu.
Belum ada tanda-tanda dia akan memenuhi janjinya. Aku tentunya tidak mengharapkan sekarang juga DIA dan keluarganya segera terbang dari Surabaya ke Bali. Yang paling penting bagiku, aku bisa memperbaiki kesalahanku di masa lalu. Aku tidak bisa begitu saja kehilangan sahabat terbaik. 
"Aku minta maaf. Sudah merusak persahabatan kita. Aku lupa kalau kamu berhak mencintai siapapun. Dan menikah, dengan wanita manapun" Aku lega, bisa mengatakan semua ini. Walaupun, perlu waktu yang lama untuk menyadarinya.
"Aku juga minta maaf, karena sebelumnya tidak pernah bercerita tentang calon istriku. Mengejutkanmu dengan undangan tiba-tiba. Dan, aku betul-betul meminta maaf karena tidak peka dengan perasaanmu Nay. Aku betul-betul tidak tahu" Aku memang tidak pernah mengutarakannya pada siapapun. Jadi, rasanya egois sekali jika aku menuntutmu untuk mengerti apa yang sama sekali tidak kau ketahui.
Kali ini aku bisa tersenyum lebar. Beban yang aku tanggung lima tahun belakangan, sudah berhasil aku singkirkan. Aku berhasil melepaskan perasaan itu. Dengan langkah lebih ringan, aku menuruni anak tangga.
“Eh, kamu masih di sini Rey?” Aku mendapati pria bermata coklat itu di dasar tangga, yang beberapa tahun ini menjadi teman terbaikku. Walaupun aku sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa tentang DIA, yang baru saja aku telepon.
“Ayo, kita main treasure hunt” Rey menghampiriku. Aku menyambut uluran tangannya
“Bukannya itu games untuk anak-anak?” Rey tidak menjawab. Dan aku tidak membantah, menurut saja saat dia membawaku ke atas dek kapal. Aku kehabisan kata-kata. Rey menyuguhiku pemandangan, dan suasana yang menakjubkan.
“Temen-temen udah pada balik ke hotel. Kamu kelamaan di rumah pohon tadi, jadi ngelewatin banyak acara seru. Silahkan duduk, Nay” Ditariknya sebuah kursi untukku. Aku tak lupa mengucapkan terimakasih.
“Dan aku mau berburu harta karun di sini” Lanjutnya. Ia duduk persis di sebrangku. Cahaya obor temaram, suara debur ombak, angin laut berhembus kencang, wangi udara penuh garam. Dan sepasang mata yang tak lepas menatapku. Rasanya aku ingin membungkus malam yang sempurna ini. Menyimpannya.
"Berburu apa?" Alisku pasti sudah bertaut jadi satu. Tidak mengerti dengan permainan Rey malam ini. Terlalu sering dia membawa kejutan. Dan aku tak bisa menebak yang satu ini.
“Aku mau berburu hati kamu” Dia menancapkan tatapannya tepat di retinaku. Aku menahan nafas, menunggu. Siapa tahu ini hanya jebakan. Mungkin saja dia hanya bercanda.
“Aku serius Nay” Seolah Rey tahu apa yang aku fikirkan. Diraihnya tanganku. Mengusapnya lembut meyakinkanku. Aku hanya diam, mencoba memahami.
Sekarang aku tahu, mengapa malam ini aku tiba-tiba tergerak untuk menghubung DIA –masih belum terbiasa aku menyebut namanya-. Mungkin agar aku bisa mendeklarasikan kebebasanku. Karena aku sudah merelakan untuk melepas perasaan yang usang dan tanpa harapan. Kemudian bersiap untuk menyambut kebahagiaanku sendiri. Hari ini aku bahagia. Walaupun aku belum tahu, seperti apa ceritaku dengan Rey nantinya. Semoga saja, tak perlu membuat janji es krim lagi 


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!