Senin, 09 September 2013
Rabu, 04 September 2013
kupetik cintaku, untukmu
Waktu aku memasuki
gerbang sekolah ini lagi, aku melihat diriku tujuh tahun lalu, dengan seragam putih
abu, berlari terburu-buru, adu cepat dengan pak Asep yang membunyikan bel, dan
Pak Udin yang bersiap mengunci pagar.
Hari ini ada open
house, sebenarnya lebih ditujukan bagi calon siswa baru dan orangtuanya.
Aku memanfaatkan keramaian ini untuk menyelinap masuk, tanpa mengundang banyak
perhatian. Jadi, seandainya aku
celingukan ke setiap kelas sekalipun, aku tidak akan diciduk satpam. Aku kemari
bukan untuk sekedar bernostalgia, berjalan-jalan di koridor sekolah, mengorek
kenangan di setiap sudutnya. Aku kemari untuk menjemput cinta pertamaku.
***
“Nama saya Hasna Nabila” Guru biologi kami
memperkenalkan diri.
“Sudah punya
pacar?” seorang siswa nyeletuk dari barisan belakang, disambut suara huuuu
panjang dari para siswi.
“Wah, baru
kelas dua SMA udah pada nanya udah punya pacar apa belum. Saya baru lulus
kuliah tahun lalu, dan ini tugas mengajar saya yang pertama. Jadi saya minta
kerjasama dari para siswa semua. Soal pacar, ga ada. Ibu ga punya” dia
tersenyum, manis sekali.
“Sekarang
giliran kalian yang mengenalkan diri. Ibu absen satu persatu” Bu Hasna berjalan
ke kursinya, mengambil daftar absen dari mejanya
“Alvaro Novan”
Ia memanggil namaku lantang, aku malah terpaku “Alvaro Novan?” Bu Hasna
mengulang namaku. Aku masih bergeming, sampai Taufan teman sebangkuku menyikut
tanganku.
“saya bu”
seruku sambil mengangkat tangan
“pagi-pagi kok
udah melamun Al?” Bukankah itu pertanyaan biasa saja? Tapi aku, merasa ada yang
beda. Sebelum ini tidak ada yang memanggilku Al, apalagi dengan caranya. Al
dengan L tebal di ujungnya. Teman-temanku memanggil Varo, keluargaku memanggil
Novan. Dan Bu guru cantik ini, ya bu guru cantik ini memanggilku Al, dengan L
tebal di ujungnya.
“ga apa–apa
bu” jawabku gelagapan, teman-teman sekelas tertawa cekikian.
“Varo grogi
bu” goda Doni, dia yang tadi nyeletuk menanyakan apakah bu Hasna sudah punya pacar
atau belum. Aku merasakan wajahku semakin panas.
Dua jam pelajaran
tadi hanya diisi sedikit perkenalan dari teman-teman, dan aturan main belajar
dengan Bu Hasna. Tapi aku tidak bisa fokus dengan apa yang Bu Hasna sampaikan.
Aku terlalu sibuk dengan detak jantungku yang berdetak lebih cepat dari
biasanya. Akupun selalu refleks menahan nafas, setiap mendengar bu Hasna
memanggilku AL.
***
Aku berjalan
bersama calon orang tua siswa lainnya dari satu kelas ke kelas lainnya,
mengamati proses belajar mengajar. Ada juga orangtua yang melihat-lihat
fasilitas sekolah, mulai dari sarana ibadah, kegiatan ekstrakurikuler, lapangan
olahraga, dan perpustakaan. Langkahku terhenti di depan sebuah kelas dengan
papan bertuliskan XII IPA 1 di atas pintunya. Dulu ini kelas 3 IPA 3, kelasku. Di teras
depan ini, aku dan teman-teman sering duduk-duduk. Dan Bu Hasna, walaupun sudah tidak mengajar
kelas 3, sering bergabung bersama kami.
“Di sini
banyak nyamuk” Keluhnya. Di depan kelas kami ada pohon nangka dan kedondong.
Mungkin nyamuk senang bermain-main di sana.
“Pasti
nyamuknya cowok tuh” seru Doni. Aku
betul-betul berjodoh dengan Doni, 3 tahun kami sekelas, bahkan sekarang kami
duduk sebangku.
“Yang
menghisap darah itu cuma nyamuk betina, itupun bukan untuk makan, tapi untuk
berkembang biak” kata bu Hasna, dan seruan ooo panjang sempurna membulat di
mulut kami.
Bu Hasna lah
alasan mengapa aku jadi menyukai pelajaran biologi. Nilai biologiku meroket
naik, tidak ada lagi acara tidur di kelas, atau PR yang lupa dikerjakan. Aku
selalu ingin terlihat baik di mata Bu Hasna.
Tapi, setelah
naik kelas tiga, Pak Jatmiko yang mengajar biologi. Aku tidak bisa lagi
menikmati suaranya saat mengajar, menatap wajah teduhnya, mendengarnya
memanggil Al dengan L tebal di ujungnya. Aku merasakan rindu yang begitu kuat.
Dan saat itu aku sadar, aku bukan sekedar mengidolakan bu Hasna. Aku jatuh
cinta padanya, pada guruku.
Aku ingin selalu
berada di sekitar bu Hasna. Aku ikut grup science yang Bu Hasna mentori, mati-matian
belajar agar bisa masuk grup yang anggotanya dipilih berdasarkan seleksi ketat.
Beruntung basic biologiku tidak terlalu buruk, dengan menambah porsi belajar,
aku bisa masuk. Aku juga meminta les tambahan di rumahnya, dan Bu Hasna tidak
keberatan.
***
Aku berjalan
menyusuri koridor, melewati kelas demi kelas, tapi tidak menemukannya di kelas
manapun. Padahal tadi aku sudah mengecek jadwal mengajar di lobi, hari ini bu
Hasna ada jadwal. Atau mungkin, bu Hasna di Laboratorium?
Gagasan itu
seperti bohlam terang di kepalaku, membuatku tak bisa berhenti tersenyum sambil
berlari kecil menuju ruangan besar di ujung barat. Letaknya agak tersembunyi,
di belakang ruang guru. Belum ada rombongan orangtua dan calon siswa yang
sampai kemari. Di halaman lab, pohon mangga berbuah lebat.
Darahku
berdesir semakin cepat melihat pohon yang kami tanam dulu. Hari itu Bu Hasna
meminta bantuanku, aku tentunya tidak merasa keberatan, walaupun harus
menenteng-nenteng cangkul, pupuk dan bibit mangga.
"Sayang
sekali kalo tanah ini dibiarkan kosong. Lebih baik jika ditanami sesuatu"
Ceramahnya, lalu aku mulai mengayunkan cangkul ke tanah padat di ujung halaman
lab. Tapi ternyata tanah ini keras sekali.
“Sini, biar
ibu saja!” Aku kaget waktu Bu Hasna
merebut cangkul dari tanganku, lalu mengayunkannya ke tanah padat di antara ke
dua kakinya. Aku spontan menahan nafas, takut ayunannya meleset dan mengenai
kakinya.
“Wow, bu Hasna
bisa nyangkul?” Takjub aku dibuatnya, membuatku semakin jatuh hati.
Keringat menitik di keningnya, memantulkan sinar matahari, sewarna pelangi.
“Bapakku
petani, aku dari kecil mainannya udah cangkul, arit. Kalo Cuma urusan cangkul
mencangkul segini saja si gampang. Asal jangan disuruh nyangkul sepetak sawah
aja” tawanya berderai, tapi sebelum dia mengayunkan cangkul untuk kedua
kalinya,segera kuambil cangkul itu dari tangannya.
“Biar aku saja”
Aku melanjutkan mencangkul, menyiapkan tanah gembur untuk ditanami,
mencampurnya dengan pupuk, lalu menanam bibit mangga hasil cangkokannya.
***
Dari jendela
aku bisa melihat kesibukan di dalam laboratorium. Sebagian siswa asik di depan
mikroskop, sebagian lagi mencatat sesuatu. Ada juga yang sedang memotong-motong
entah apa, akar tanaman mungkin. Dan ada bu guru cantik berkeliling memeriksa
pekerjaan siswa siswinya. Bu Hasna. Masih sama seperti ingatanku, hanya saja sekarang jilbab manis menutupi rambut ikalnya. Aku merasakan lagi sensasi itu, aliran darah yang mendesir lebih deras dari biasa, jantung yang berdetak lebih cepat, dan pasti wajahku merona merah.
Aku memutuskan menunggunya di bawah pohon mangga, mengamatinya dari jauh. Sekarang pohon ini sudah
tinggi, dengan buah lebat hampir di setiap batangnya. Sementara di dalam lab,
para siswa terlihat sibuk merapikan pekerjaan. Kertas-kertas dikumpulkan,
bahan-bahan praktikum dibersihan. Semua peralatan diletakkan di tempat semula.
Dan bu guru Hasna, memberikan instruksi.
“Soal yang ibu
bagikan, dikumpulkan besok ya anak-anak, Jangan lupa sampahnya dibuang ke
tempat sampah! Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam...”kompak
para siswa menjawab salam.Tepat saat dia keluar dari pintu lab, bel istirahat
berbunyi.
“Bu Hasna!”
aku memanggilnya. Ia spontan mengentikan langkah.
Lama ia
mengamatiku, Agak ragu untuk mendekat. Tapi kemudian aku melihat ia tersenyum.
Senyum yang menjadi candu sejak pertama kali aku melihatnya. Dan senyum yang
membuatku mati merindu tujuh tahun lamanya.
“Al?” masih
dengan cara sama, L tebal di ujungnya. Sampai saat ini hanya dia yang
memanggilku begitu.
Senyumku
terkembang, menyambutnya yang berjalan pelan ke arahku. Mukaku kebas, tubuhku kaku. Waktu serasa berjalan
lambat sekali. Di belakangangnya serombongan calon orangtua murid masuk ke lab,
dibimbing oleh pengurus OSIS yang ditugaskan menjadi guide.
“Aku menagih
janji ibu” Kataku.
Waktu
seakan mampat. Berhenti di tempat. Ada jarak satu meter di antara kami. Lalu
waktu memusing di sekitar kami, melemparkan aku dan bu Hasna ke tujuh tahun
silam.
“Yap, akhirnya
selesai juga” Serunya setelah memastikan batang pohon mangga tegak, dan
memadatkan tanah di sekitarnya. Ia duduk menyelonjorkan kaki di teras lab.
“Boleh aku
bilang sesuatu bu?” Perasaan gugup menjalar di setiap tubuhku.
“Ada apa Al?
Mau belajar juga gimana cara nyangkok yang benar?” Bu Hasna tersenyum, aku
menghampirinya. Duduk persis di sebelahnya.
“Ibu gak punya
pacar?” tanyaku. Bu Hasna menggeleng. Ada jeda yang panjang, kami sama-sama
larut dalam fikiran kami. Aku yakin, tanpa aku mengatakannyapun Bu Hasna tahu
kalo selama ini aku diam-diam mengaguminya.
Angin sepoi
memainkan anak rambutnya, lidahku semakin kelu. Semua kata yang sudah aku susun
rapi, berantakan. Keberanianku surut. Tapi, aku harus mengatakannya. Setelah
ini, aku akan melanjutkan kuliah. Belum tentu aku mempunyai kesempatan untuk
bicara.
“Bu Hasna, mau
menunggu aku? Lima, enam, atau tujuh tahun lagi? Aku mau jadi suami ibu” Angin
berdesir, menggigilkan tubuhku. Aku menunduk, takut membayangkan reaksi Bu
Hasna. Bisa saja dia marah, menganggapku kurang ajar, atau melaporkanku ke guru
BP. Tapi yang paling aku takutkan, ia tidak mau bicara lagi padaku karena hal
ini.
Bu Hasna tidak
menjawab. Dia memilin-milin rambutnya yang ikal, memikirkan entah apa. Jika
saat itu Bu Hasna langsung mengatakan tidak, lalu pergi, aku pasti tidak akan
menyimpan banyak harapan untuknya. Alih-alih mengatakan sesuatu, ia memandangiku
lama, entah apa yang ia cari. Kemudian tersenyum, senyum termanis yang pernah
kulihat darinya.
"Kita
lihat saja nanti ya Al" Ia meninggalkanku di depan lab. Kita lihat saja
nanti?
Seminggu
setelah kejadian itu, aku wisuda kelulusan, lalu melanjutkan kuliah.
Sengaja aku mengambil jurusan bioteknolgi, karena semua hal yang berhubungan
dengan biologi, mengingatkanku pada bu Hasna. Aku menyelesaikan kuliah secepat
yang aku bisa. Dan selama dua tahun terakhir aku bekerja di sebuah perusahaan
yang melakukan riset pengembangan benih tanaman obat dan pangan.
***
“Al?” Ia memanggilku lagi. Al, dengan L tebal di ujungnya. Aku semakin tak karuan.
“Ke mana saja
kamu tujuh tahun ini?” Aku melihat sesuatu berkilat di ujung matanya.
“Kuliah, kerja”
aku menundukkan kepala. Tujuh tahun ini aku memang tidak pernah memberikan
kabar apapun pada bu Hasna. Tujuh tahun aku bersembunyi. Mengumpulkan
keberanian untuk menjemput Bu Hasna. Meyakinkan hatiku bahwa kata-kata terakhir dari bu Hasna berarti dia bersedia menungguku. Mengusir fikrian bu Hasna sudah bersama orang lain.
“Kamu
benar-benar telah membuat ibu menunggu. Bonusnya, tanpa kabar sama sekali.” sebulir
air mata jatuh dari matanya.
“Maaf, baru hari ini aku punya keberanian” susah
payah aku menahan diri agar tidak memeluknya, lalu menghapus air mata di
pipinya. Tuhan, rindu ini begitu kuatnya. Dan sekarang, dia hanya berjarak seratus
sentimeter di depanku.
“Kamu mau bawa
ibu ke mana?” Bu Hasna menantangku
“Pelaminan” Jawabku
pasti
“Kapan?” Tanyanya
lagi
“Secepatnya” Senyumku
terkembang
“Jangan membuatku
menunggu lagi. 3 bulan lagi ulang tahunku ke 29” Kemudian dia meninggalkanku di
depan pohon mangga yang berbuah ranum. Masa penantianku usai sudah. hari ini cintaku juga sudah matang.
Kupetik cintaku, kupersembahkan untuk bu Hasna.
Langganan:
Postingan (Atom)