Jumat, 21 Maret 2014

gerimis


Ini hanya pagi biasa
Dengan hujan rintik-rintik menyertainya

Sudah, sudahi!
Pancang anganmu kuat-kuat
Jangan biarkan ke sana ke mari
Mencari luka dan perih

Ayolah, berhenti!
Sudah cukup basah pagi ini
Jangan kau tambahi dengan tangis
Hanya menambah sayatan hati

Kamis, 20 Maret 2014

Segelas Air hangat #edit



  





Segelas air hangat.
Seorang perempuan menggenggam segelas air hangat dengan erat, seolah dari sanalah semua kekuatan dirinya berasal. Atau mungkin Ia hanya sekedar  ingin menyalurkan kehangatan supaya menjalar ke setiap centi tubuhnya. Dihirupnya uap yang terkepul dalam-dalam, melegakan rongga nafasnya. Matanya entah sedang menatap apa. Hanya pandangan kosong ke kejauhan.

Senyuman tersungging di bibirnya, ketika sebuah ingatan menelusup di kepalanya. Saat ketika seorang lelaki duduk di depannya, dan mengulurkan segelas air hangat ke depan wajahnya. Membiarkan uapnya meliuk-liuk masuk ke hidungnya yang buntu. Bukan karena ia sedang flu, hanya saja ia terlalu banyak menangis hari itu.

***

“Minum air hangat ini, biar enakan” Lelaki itu menyentuhkan gelas ke bibirnya, Ia menyambut dengan senyum dan membiarkan air hangat itu masuk melewati bibirnya. Menahannya ragu, namun kemudian ditelan juga,  pelan-pelan merayapi kerongkongan, lalu tumpah di lambung, menghangatkan perutnya yang kosong sejak semalam.

Ia ingat, saat itu tidak ada ucapan terimakasih. Hanya diam. Kemudian dilanjutkannya minum, seteguk demi seteguk. Hingga tandas.

“Sampai saat ini aku yakin, air hangat  adalah  obat mujarab untuk segala jenis penyakit” Tangan sang lelaki menyentuh  punggung tangannya, lebih hangat dari gelas itu, fikirnya. Dan rasa nyaman mengalir pelan, hingga memenuhi hatinya. Tidak salah Ia pergi ke tempat itu, lelaki di depannya selalu memberikan rasa aman dan nyaman lebih dari siapapun.

“Sudah baikan?” Lelaki itu bertanya, dan Ia hanya menjawab dengan anggukan pelan.

Sekilas, senyuman samar terlihat di sudut bibirnya. Mukanya pucat, matanya sembab, tapi perasaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Entah apa yang mengundang senyuman itu hadir. Air putih hangat, atau rasa nyaman yang ditimbulkan lelaki itu.

“Kenapa tadi tidak mengetuk pintu?” Lelaki itu kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini ia jawab dengan menggeleng. Tidak apa-apa.

“Untung saja tadi aku berniat keluar rumah. Coba kalo aku memutuskan tidur seharian saja. Kamu bisa berdiri seharian di depan pintu” Ia tersenyum lagi, tahu kebiasaan tidur lelaki itu. Dia bisa tidur dari pagi sampai sore, dari sore sampai pagi lagi. Tidak ada lelahnya.

“Berapa lama kamu di luar?” Pertanyaan lagi, tapi ia masih saja bungkam.
Lelaki itu tidak mau mengira-ngira apa penyebab perempuan itu datang dengan wajah sendu. Jika memang dia perlu tahu, perempuan itu pasti akan bercerita. Bukankah di antara mereka tidak pernah ada rahasia? Paling tidak, dulu sebelum perempuan itu menikah dan meninggalkan rongga kosong di hatinya.

Tentu saja dia merasa kehilangan saat perempuan yang sekarang duduk tanpa semangat di sofa ruang tamunya memutuskan untuk menikah. Tapi itu pilihannya, dia sama sekali tidak bisa menahan. Kebahagian perempuan itu adalah kebahagianya juga. Tapi melihat perempuan yang dikasihinya terlhihat begitu nelangsa, dia tak tahan. Seolah-olah, dia ikut merasakan sakit yang ia rasakan
Perempuan itu merasakan kegusaran yang sama, ia ingin bercerita. Mungkin dengan menceritakan apa yang terjadi, bisa melelehkan sedikit demi sedikit rasa sakit di hatinya. Tapi, urung ia lakukan. Lelaki ini mempunyai cinta yang lebih besar untuknya, dan sedikit saja suaminya melakukan kesalahan, bisa menjadi jalan untuk lelaki itu ikut masuk ke kehidupan rumahtangganya. Ia belum mau hal itu terjadi.

“Baiklah, kalau kamu belum mau bicara”  Ia ditinggalkan sendiri sambil memandangi gelas kosong di tangannya. Merenungi sesuatu? Entahlah. Di kepalanya hanya dipenuhi satu nama. Suaminya.

***

Hari ini, kembali perempuan itu mematung di depan jendela, memegang gelas kosong yang tadinya berisi air hangat. Sama seperti lelaki yang mengenalkannya dengan air hangat, Ia meyakini, air hangat adalah obat dari segala jenis penyakit. Setiap hari, tak kurang dari delapan gelas air putih hangat dia habiskan. Terlebih lagi saat hujan seperti ini.
Lelaki itu lagi. Belakangan ia jadi sering membanding-bandingkan lelaki itu dengan suaminya. Keduanya benar-benar bertolak belakang. Yang satu dengan kegemarannya dengan air hangat, dan yang satu lagi justru tak bisa minum jika bukan air dingin. Es batu adalah keharusan. Dan lemari es penuh dengan botol-botol berembun berisi air putih.
Apakah kesukaan seseorang terhadap jenis minuman bisa mempengaruhi sikap mereka? Buktinya saja, lelaki itu selalu bisa menghangatkan suasana. Sama seperti segelas air hangat. Belum lagi kau reguk isinya, hangat di gelasnya mengusir dingin di tanganmu, uap hangatnya melegakan buntu di hidungmu.
Seperti lelaki itu. Hanya dengan berada di dekatnya, Ia sudah bisa merasakan aman dan nyaman. Dan tanpa perlu berkata-kata, mereka seperti bisa saling berbincang hanya lewat tatapan mata.
Lain halnya dengan suaminya. Ia dingin. Sama seperti air di gelas berembun yang menjadi minuman sehari-harinya. Satu kali tatap saja, kamu langsung beku. Dan setiap kali berbincang, yang ada hanya kekakuan.

Pohon mangga di halaman rumahnya meliuk-liuk diterpa angin. Badannya mulai menggigil, dieratkannya sweater abu-abu ke dadanya. Suara rintik hujan bagai menabuh genting dengan suara berdebam, gaduh.

Pukul sembilan, diliriknya jam di dinding ruang tamu. Suaminya belum juga pulang. Tidak ada sms, tidak ada telepon, tidak ada kabar sama sekali. Perasaannya diliputi banyak pertanyaan serta curiga. Dan tak ketinggalan cemburu.

Kemarin, suaminya baru pulang setelah tengah malam. Sudah dua hari berturut-turut. Seharian tidak ada kabar, baru malamnya mengirim sms. Singkat saja “aku tidak pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Perempuan itu mengamini, semoga betul begitu. Semoga bukan karena hal lain.

Dan sms balasan terkirim “semoga cepat selesai pekerjaannya”. Lalu sepi, tidak ada pembicaraan lagi. Tidak ada kata-kata maaf karena harus pulang terlambat, maaf tidak bisa menemani makan malam. Tidak ada. Hanya itu saja.

Lalu semalaman perempuan itu menatap langit-langit kamar, mencoba menghilangkan semua prasangka buruk di hatinya. Menghapus semua kemungkinan buruk. Meyakinkan hatinya, bahwa suaminya benar-benar sedang sibuk. Bahwa betul sekali pekerjaannya menanti untuk segera diselesaikan. Lalu berpura-pura tertidur lelap saat suara pintu kamar dibuka. Tengah malam, suaminya baru pulang.

Tapi sayang, sms yang dia temukan malam malam sebelumnya terus saja menghantui fikirannya. Hatinya getir, mengingat suaminya bahkan lupa bagaimana berkata-kata manis padanya, tetapi serentetan pesan yang Ia baca, begitu mesranya. Dan semua ditujukan hanya untuk satu nama. Nama perempuan. Entah siapa.Dia tidak lagi percaya, tidak lagi menelan bulat-bulat perkataan suaminya. Tidak seperti dulu, yang selalu meyakini  apapun yang suaminya katakan.

Dan malam ini, kembali sms yang sama masuk ke ponselnya “Aku tidak pulang. Lembur. Banyak pekerjaan belum selesai”. Sepertinya suaminya bahkan tidak repot mengetikkan sms baru. Mungkin dia hanya mengirim ulang sms hari kemarin, dan kemarinnya lagi. Begitu sibuknyakah dia?

Dengan sisa kepercayaannya, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menjenguk suaminya di kantornya. Membawakan makan malam. Kerang saos padang sudah dia hangatkan tadi, nasi selalu panas, tumis taoge, dan cumi goreng tepung. Semua spesial kesukaan suaminya.

Setelah mengemasi makan malam, menelepon taksi, menunggu tak sabar sampai taksi itu tiba di depan rumahnya. Ia tiba di depan gedung perkantoran yang sepi. Jika benar suaminya lembur, maka dia akan dengan senang hati menemaninya makan malam sebentar, lalu kembali pulang. Tapi bila tidak? Dia tahu harus ke mana.

Hujan tinggal menyisakan rintik gerimis. Hampir semua lampu sudah padam. Dia bertanya kepada satpam, apakah melihat suaminya. Mereka semua kompak menjawab sudah pulang.

“Masih lembur mas?” Dikirimkannya sms ke nomor suaminya. Tak lama jawaban masuk

“Iya. Kamu tidur duluan saja. Tak usah menunggu”

“Lembur di mana?”

“Di kantor lah dek. Di mana lagi?”

“Aku di kantormu”

Tiba-tiba petir menggelegar, hujan kembali tumpah dengan derasnya. Bersamaan dengan menetesnya air mata dari sudut matanya. Taksi yang mengantarnya masih menunggu di halaman kantor. Sudah habis semua sisa-sisa kepercayaan yang dia punya. Dia tidak perlu tahu ke mana suaminya pergi. Satu kebohongan itu saja sudah cukup menjelaskan.

Taksi membelah jalanan yang basah. Sesekali supir taksi menengok ke belakang, khawatir pada penumpangnya yang menangis di jok belakang. Terlebih, ia tidak meminta diantarkan ke rumahnya.

Berkali-kali ponselnya bergetar di genggaman. Telepon masuk dari suaminya. Tidak dihiraukan. Ia tidak sedang ingin mendengar penjelasan apa-apa. Sekali dusta, selamanya dusta. Bukankah begitu?

“Tidak pulang ke rumah bu?” Tanya supir taksi itu sopan.

“Lurus saja pak, belok kiri di pertigaan depan” Ia menginstruksi dari jok belakang, sambil menyeka air mata dan ingus dengan tisu.

Panggilan masuk lagi ke ponselnya. Masih dari suaminya. Kali ini ditekannya tombol reject. Sebentar lagi ia sampai ke rumah yang dituju. Menuju rumah perlindungan, mencari segelas air hangat untuk perutnya, dan pelukan untuk menenangkan hatinya. Sweater abu-abunya basah saat dia berlari menembus hujan, dan dibiarkannya hujan menyembunyikan air matanya.Lalu mengetuk pintu sekuat tenaga.

“Ada apa sayang?” Lelaki itu panik mendapati perempuannya menggigil di depan rumah. Dituntunnya perempuan itu ke ruang tamu.

“Keringkan badanmu, dan cepat ganti baju!” Perempuan itu menurut, menyeret langkahnya ke sebuah kamar, meninggalkan jejak basah. Saat ia kembali, didapatinya lelaki itu dan segelas air hangat di meja, serta tanya di matanya. Perempuan itu duduk.

“Air hangat ini, tidak bisa menyembuhkan sakit hati dan kekecewaan. Aku bahkan ragu, apakah ada obat untuk dua penyakit itu?” Diletakkannya gelas kosong di meja, setelah meminum dengan rakus isinya.

“Ada apa?” Wajah khawatir lelaki itu tak bisa disembunyikan.

“Aku ingin pulang. Ayah..” Ia menghambur ke pelukan sang ayah. Lalu tak ada kata-kata lagi. Hanya tangisan, suara getar ponsel di meja, dan geram marah sang ayah.

Selasa, 11 Maret 2014

Pelangi





Bunda, aku ingin menggambar pelangi
Warna-warni indah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu
dalam garis lengkung
Tapi bunda, aku hanya bisa menggambar pelangi
Tak pernah aku bertemu dengan cantiknya warna warni di langit biru
 Padahal hujan sering sekali turun
Oh bunda, di manakah pelangi?
Bukan! bukan warna warni dalam piring itu yang kucari

Seorang Gadis Di persimpangan


Seorang Gadis di persimpangan
Hatinya kerontang disengat sepi berkepanjangan
Lalu dengan lancang
Dicurinya awan dari angkasa
Bersekutu dengan angin yang menggiring arakan gumpalan-gumpalan putih
Tepat ke langit tempat ia tengadah
Ia ingin hujan turun
Untuknya
Hanya untuknya
Tak mau berbagi
Dan ketika hujan khatamkan inginnya
Ia lupa jalan pulang
Tersesat di persimpangan