Minggu, 25 Oktober 2020

Kilas balik

 

Beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan menghapus akun Facebook. Akun yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi tempat sampa itu, hampir 3 tahun tidak aku isi dengan postingan baru. Dan sudah lama pula laman berlogo biru itu tidak aku tengok, bahkan untuk sekedar melihat-lihat. Jadi, kufikir sebaiknya diarsipkan saja.

Awalnya, aku membongkar file lama untuk mencari bahan tulisan. Namun ternyata aku malah terdampar pada dinding racauan. Tidak kusangka, ada banyak harta karun tersembunyi di arsip Facebookku. Walau postinganku di awal, adalah hal-hal yang tidak mengarik. Ternyata, aku dulu sebegitu recehnya. Mengepost hal-hal tidak penting. Tepat sekali aku menutup akun itu.

Tetapi, ada juga tulisan-tulisan yang cukup menarik untuk disimak. Puisi-puisi pendek, cerita-cerita seru, ringkasan pekerjaanku. Dan yang paling aku sukai adalah cerita tentang sulungku. Mulai dari celoteh-celotehnya, hingga tingkah-tingkah lucunya. Dulu aku rajin sekali menuliskan beragam hal tentangnya, beserta foto-foto menggemaskan yang membuatku bernostalgia.

Kilas balik itu ternyata cukup menyenangkan. Membuatku menyadari betapa jauh jalan yang telah kami tempuh. Kilas baik ini juga membuatku tersadar, begitu banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Mulai dari pemahaman, cara bertutur dan berbicara, juga cara menghadapi masalah.

Mudah-mudahan, pelesir singkatku menengok masa lalu membuatku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Serta menjadi pengingat agar aku tidak melakukan kembali kesalahan-kesalahan yang dulu.

#30dwcjilid26

#squad5

#IWQ_1

#DAY7

Memori

April 2020

Senyuman selalu terkembang, setiap kali ingantanku kembali ke saat itu. Saat pertama kalinya aku merasakan nyawa lain di dalam tubuhku. Malam itu, seperti biasa aku dan suami menanti giliran dipanggil. Duduk di sofa nyaman, namun dengan penuh kekhawatiran. Berharap-harap cemas akan kondisi kehamilanku yang kedua. Mengingat aku pernah keguguran sebelumnya.

Agak lama kami menunggu, sampai saatnya namaku dipanggil. Suamiku duduk di kursi konsultasi. Aku menimbang berat badan. Hampir semua pertanyaan rutin dari dokter, dijawab oleh suamiku. Sementara aku hanya mengiyakan, atau memberikan tambahan informasi. Aku gugup.

Dokter bilang, penambahan berat badanku masih belum ideal. Dan inilah pertama kalinya aku mendapatkan saran yang amat menyenangkan dari seorang dokter. Aku disarankan untuk lebih sering mengkonsumsi es krim... Wow.. dengan senang hati dok. Pasti saya turuti.

Rasanya dingin di bagian bawah perutku, saat suster mengoleskan gel untuk memudahkan proses pemeriksaan USG. Sebuah alat yang terhubung kepada monitor di sebelah tempat tidurku. Merekam isi perutku.

Pada layar bergambar hitam putih itu aku meilhat sebuah bentuk berdenyut-denyut. Dokter menjelaskan secara singkat, bahwa itu adalah denyut jantung calon bayiku. Saat suara denyut itu diperdengarkan, rasa haru menyesaki rongga dadaku. Bulir air mata bahagia luruh begitu saja dari kedua mataku.

Aku terpaku. Begitu terpukau. Detak jantungku seakan menyelaraskan irama dengan denyutannya.. Menakjubkan sekali melihat kehidupan lain di dalam tubuhku. MaasyaAllah, Maha Besar Allah yang telah menjadikan sesosok tubuh mungil tumbuh perlahan tapi pasti di badan kecilku.. Aku menantikan kehadirannya ke dunia ini. Unutk memeluk tubuh rapuhnya sepenuh cinta. Aku menantikannya. Benar-benar mendambakannya.

#30dwcjilid26

#squad5

#IWQ_1

#DAY6

 

Rabu, 21 Oktober 2020

Firasat

 Lasmi mematung di ambang pintu. Perasaan gundahnya makin menjadi. Semilir angin subuh menggigit tulang. Namun bukan itu yang membuatnya gigil. Entah apa yang mengganggu fikirannya. Tiba-tiba saja muncul semenjak ia terjaga. Sementara Pak Darto, suaminya, hanya menanggapi dengan biasa saja kecamuk yang menyesak di dadanya.

Sepeda tua yang sarat dengan sayur mayur menghilang dari pandangannya. Lasmi menutup daun pintu yang sudah lapuk dengan sedikit enggan. Separuh hatinya ingin berlari mengejar suaminya. Mendekapnya untuk menahan langkah lelaki tua itu supaya tidak menjauh darinya. 

Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Bisa pada dirinya, anak-anaknya, atau mungkin suaminya.

Sudah berbulan-bulan, anak semata wayangnya belum memberi kabar. Untuk pulang, mungkin belum punya bekal. Keadaan ekonomi anaknya tidak lebih baik darinya. Ia paham betul jika sampai anaknya itu belum bisa pulang untuk sekedar melepas rindu.

Sedangkan suaminya, tidak mau ambil pusing dengan firasat yang dia rasa. Dia bilang, semua itu hanya ada dalam fikiran Lasmi saja. Yang nyata adalah rasa lapar yang harus dituntaskan. Dan segala kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi.

Yang ia bisa lakukan sekarang hanya mencoba mengusir prasangka dengan menyibukkan diri di dapur. Ia tidak tahu, tepat saat ia menuangkan air ke baskom beras di hadapannya. Saat itu kemalangan menjumpai suaminya. Pak Darto menjadi korban tabrak lari.

#30dwcjilid26
#squad5
#IWQ_1
#DAY5

 

Senin, 19 Oktober 2020

Jujurlah


Kadang, aku takut untuk menulis. Yang aku takutkan adalah, terselip kesombongan dalam tulisan yang kubuat. Akupun khawatir, jika dengki ternyata ikut mengotori.

Menulis, mampu menggerakkan hati. Karena itulah aku amat berhati-hati. Jika saja tulisanku bisa menggerakan pada kebaikan, tentu itu yang paling aku inginkan. Tapi bila kebaliknya, tentu aku turut bertanggungjawab bukan?

Pada awalnya, semua kehawatiran itu membuatku berhenti sama sekali. Karena pernah suatu waktu, tulisanku menjadi boomerang yang memantul ke wajahku sendiri.

Pernah pula, kata-kata yang aku susun malah membuat orang berang dan berujung tuduhan yang tidak berdasar padaku. Sungguh, kata-kata bisa menjadi pisau bermata dua. Maka aku dituntut untuk lebih bijak dan dewasa. Yang mana, berat sekali untuk diemban.

Karena jujur, selama ini aku menuliskan racauan dari isi kepalaku yang semrawut tidak karuan. Disampaikan dengan tergesa-gesa. Pada waktu dan tempat yang kadang tak tepat. Tidak semua bisa memahami apa yang ingin kusampaikan. Tapi, itu bukan salah mereka. Salahkulah yang tidak pandai mengolah kata.

Kemudian, aku jadikan ketakutan itu sebagai kekuatan yang mendorongku menggali lebih dalam lagi. Tak sekedar berkata-kata namun mencari sebanyak mungkin makna. Bukan sekedar menyajikan tulisan, namun inginnya menyuguhkan pemahaman.

Dan, perjalanan menuju ke sana sungguh memerlukan banyak sekali bekal. Tanpa ilmu dan pengetahuan, langkahku bisa terjegal.

Menulis dengan kejujuran, bukan sekedar menorehkan semua hal yang kita rasa dan fikirkan. Namun memilah dan memilih hingga bersih, mana yang paling dibutuhkan jiwa yang paling murni.

#30dwcjilid26
#squad5
#IWQ_1
#DAY4

Gadis Senja

Aku sering melihatnya di persimpangan, hampir setiap hari sebelum birunya langit memudar. Wajah bulatnya terlihat mempesona disirami cahaya senja. Entah mengapa, aku begitu menikmati setiap momen dia berjalan menjauh menuju arah matahari terbenam.

Gadis itu, biasanya turun dari bis kota sekitar jam setengah enam sore di halte sebrang jalan. Waktu itu, aku dikagetkan oleh suara decit ban motor yang tiba2 berhenti. Saat aku menoleh, aku melihat dia berdiri kikuk karena hampir tertabrak.

Wajahnya pias, begitupun aku. Kami sama-sama terkejut. Setelah kejadian itu, matanya yang tajam selalu mengawasi lampu lalu lintas. Setelah kejadian itu pula, aku setiap hari mendatangi cafe ini. Duduk menanti agar aku bisa melihatnya lagi.

Dia tidak terlalu cantik. Bentuk wajahnya bulat cenderung tembam. Dibingkai rambut lurus sebahu yang seringkali dia biarkan terurai. Namun pernah sekali waktu dia mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda. Menambah kesan kekanakan pada wajahnya.

Hari ini, dia tidak ada di antara para penumpang yang turun di halte. Sebetulnya, ini bukan pertama kali terjadi. Tapi entah mengapa, kali ini aku dibuatnya gelisah. Aku sudah mengumpulkan keberanian untuk menghampirinya. Sejak pagi aku menantikan saat-saat senja tiba untuk menemuinya.

Langit begitu gelap, awan hitam bisa saja menumpahkan hujan deras sewaktu-waktu. Cappucino yang kupesan sudah hampir dingin. Namun belum juga kusentuh. Sudah dua bis berlalu dan tak kutemui juga wajah bulat itu. Rasa cemasku semakin menjadi.

Senja sudah lama berlalu. Hujan turun diselingi petir menyambar-nyambar. Bis berikutnya berhenti. Aku menghela nafas lega. Saat kulihat wajah yang kunantikan itu berdiri di bawah naungan halte. Menunggu hujan reda.

Sudah hampir tiga bulan aku menimbang-nimbang untuk menghampirinya. Dan kurasa ini saat yang paling tepat.

Kedua kakiku melangkah gamang. Jantungku bergemuruh hebat seperti guntur yang bersahutan di langit malam. Aku khawatir dengan reaksinya bila tiba-tiba melihatku lagi. Akankah dia pergi?

Jarakku dengannya semakin dekat. Dia masih belum menyadari kedatanganku hingga saat aku berdiri di depannya. Air hujam menetes-netes dari ujung payungku. Dengan ragu, kuulaskan senyum untuknya.

Walau dalam keremangan lampu jalanan, aku bisa melihat wajah bulat itu dengan jelas. Sekilas, aku melihat keterkejutan, namun segera ia tutupi. Manik matanya, seperti dulu, mampu menembus sisi terdalam diriku. Dan aku semakin cemas. Apa yang saat ini dia fikirkan?


#30dwcjilid26

#DAY3

Sabtu, 17 Oktober 2020

Jarak kita

Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar kau bicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan. *Tentang Kita dan Laut* Cerpen Yetti A. KA (Kompas, 18 Agustus 2019).


Sementara aku, dari dulu selalu jatuh cinta pada pegunungan. Menikmati segarnya udara di antara dedaunan hijau. Serta menikmati dinginnya air sungai yang mengalir di antara bebatuan. Sepertinya, kita memang ditakdirkan untuk bertolak belakang. Dalam segala hal. Meski kita terlahir dari rahim yang sama.

Lucu ya, kita tinggal bersama, namun begitu asing. Aku yakin teman-temanmu, lebih mengenalmu. Karena itu aku sering mencuri dengar pembicaraan kalian. Sambil menyembunyikan diriku dari tatapan-tatapan yang  sering kali tak menyenangkan.

Kau mungkin tahu, aku sering sembunyi-sembunyi memasuki kamarmu. Melihat segala hal yang penuh dengan keteraturan. Jauh berbeda dengan kamarku yang kacau balau. Aku pun teratih membuka lemari yang kau kunci rapat-rapat sebelum kau pergi sekolah. Membaca diam-diam buku harian yang kau sembunyikan dengan jeli.

Sungguh, aku selalu mengharapkan kita bisa sehangat Elsa dan Anna. Namun, semakin lama aku sadar itu terlalu musykil. Cukuplah kita menjadi seperti kita apa adanya sekarang ini. Dua orang sedarah yang  begitu berjarak.

Biar kulanjutkan perjalananku menuju pegunungan sunyi. Lalu menyusuri hutan  yang jarang dilintasi kecuali oleh para pendaki. Agar aku bisa puas menyendiri, bersembunyi. 

Dan kau, silakan menuju pantai yang menawan. Lalu berdiri di depan laut menyaksikan ikan-ikan berlompatan. Dikelilingi orang-orang yang memandangimu dengan penuh kekaguman.


#30dwcjilid26

#DAY2

Selasa, 06 Oktober 2020

Kamar

Saat penat, rebahan di kamar menjadi pengobat. 

Saat sedih, menangis di kamar mengurang perih

Saat bahagia, bercengkrama di kamar bersama keluarga

Saat rindu, melamun di kamar menjadi candu

Saat sibuk, berkutat di kamar semalam suntuk

Saat sepi, diam di kamar menyendiri

Saat kantuk, nyaman bergelung, guling dipeluk

Kamar.. tempat teraman melepas segala topeng diri


 


Adek udah Bisa bilang "Kakak"

Adek udah umur 4, tapi ada banyak pelafalan yang dia belum fasih. Huruf N sama M kadang ketuker, Huruf K jadi T, R juga masih cadel jadi L.
Biasanya, adek bilang minum jadi mimum. Eh, kemarin dia tau-tau bilang "Ma, adek mau minum". Tapi kadang-kadang masih suka kepeleset lagi jadi mimum. Tiap dia bilang mimum lagi, mesti kami benerin. Eh, yang bener apa? Lalu dia benerin jadi minum... 

Nah, kemarin ada perbaikan lagi di pelafalan adek. Dia sudah bisa bilan Ka Ki Ku Ke Ko. Walau bilang K nya masih belom loss.. kayak ditahan di tenggorokan gitu.

Jadi sekarang adek udah bisa bilang Kakak, ga Tata lagi. Manggil Akung juga udah ga Atung lagi. Tapi ya gitu, kadang-kadang dia lupa. Masih balik ke kebiasaan dia yang lama. Kalo udah begitu, tugas kami mengingatkan lagi supaya adek bisa melafalkan dengan betul.

"Tapi kalo L (maksudnya mau bilang R) adek belum bisa" Katanya. "Ädek bisanya bilang L yang hurufnya itu gini ma, sreet (menggambarkan di udara dengan jarinya, garis tegak lurus) terus ada garis di bawahnya (menggambarkan di udara garis horizontal)" hohoho.. dia menulis L di udara... memastikan aku ga ketuker antara R dan L. Karena dia nyebutnya masih sama

Semoga nanti semakin jelas ya de ngomongnyaaa..

Jumat, 02 Oktober 2020

Yang kunanti dengan tak sabar

Corona pergi. Itulah hal yang kunantikan dengan tak sabar. Entah kapan pastinya. Namun kuharap dalam waktu dekat. ASAP.

Pandemi usai. Lalu kita bisa bercengkrama tanpa perlu lagi dibatasi jarak. Bebas menyapa dan berjabat erat. Bebas mencurahkan asa sambil memeluk hangat.

Covid musnah. Dan segalanya kembali berjalan normal. Beribadah lebih leluasa, sekolah kembali dibuka, ekonomi bergulir. Segala cemas sirna.

Aku menanti dengan tak sabar. Dunia pulih.



Hadiah terindah

Aku tidak bisa menemukan kata-kata. Untuk menggambarkan kehadiran mereka dalam hidupku.

Mereka, yang membuatku selalu bertahan dalam setiap badai. Mereka, alasan aku selalu menjejakkan kakiku kuat. Mereka, yang menerimaku apa adanya.

Dia yang menggedor pintu kamar mandi setiap kali aku membersihkan diri sepulang dari kantor. Lalu berteriak tak sabar "mama, cepetan mandinya.. adek kan mau peluk!”

Ia yang badannya sudah hampir menyamaiku namun masih senang kugendong dari tempat tidur ke kamar mandi.

Mereka... Yang selalu berat hati melepasku berangkat bekerja setiap pagi.

Anak-anakku... Yang kemilaunya menyinari langkahku. Penunjuk jalan, setiap kali tersesat di persimpangan.

Rabu, 30 September 2020

Belajar apa aja?

Aku tuh pembelajar yang cukup lambat. Lamaa sekali sampai sadar kalo Allah lagi ngajarin aku sesuatu. Tapi di antara semua pelajaran berharga yang aku dapet, aku rangkum beberapa yang menurutku cukup membawa perubahan di hidup aku.

* Jangan suka ngarep kalo gak siap kecewa

* Harus husnudzhan. Sama apapun, sama siapapun

* Belajar bilang Nggak, Tidak, Gak bisa. Gak semuanya harus di Iyain

* Kalo masih ragu, mending gak usah.


Dan ada beberapa hal yang masih harus aku pelajari. Karena prakteknya susah banget.

* Love your self first. Susah banget buatku. Sampe saat ini aku selalu ngerasa gmn yaa, kayak ga punya sesuatu gitu yang berharga yang membanggakan di diri pribadi

* Sabar. Khususnya kalo menghadapi anak-anak. Ujian terberat banget

* Kurangi ngelamun. Hahaha.. susah banget. Kebiasaan. ngelamun dan ngomong sendiri. Dua hal yang sulit dihindari


Mungkin itu ya sementara. Kalo nanti tiba-tiba keinget hal lainnya. aku update lagi.

Selasa, 29 September 2020

Sesah hilapna

Aku agak kesulitan kalau harus menuliskan lagu favorit. Bukan apa-apa, aku jarang sekali menikmati musik. Kalaupun iya, biasanya karena disarankan orang lain atau random tersesat di beranda yutub.

Tapi belakangan ini, sering tanpa sadar mendendangkan lagu yang dulu pernah dibawakan grup gamelanku waktu SMP. Nama grupnya, degung kameumeut...

Aku ga tau siapa penyanyi aslinya.. yang jelas bu Evi dan Desi (temenku sang sinden yang suaranya halimpuuu pisan) menyanyikan lagu ini dengan indah.. dan aku suka. Sampai sekarang masih terngiang-ngiang.

 

Sesah Hilapna

 

asa asa urang teh nembean tepang

(rasa-rasanya kita baru bertemu)

aya kereteg hate dugdeg surser sesah hilapna

(ada firasat hati dag dig dug ser, sulit melupakannya)

gening bet sungkan papisah

(ternyata enggan berpisah)

duuuh sesah hilapna

(sulit melupakannya)

kantenan urang teh nembean tepang

(apalagi kita baru saja bertemu)

aya nu eunteup gerentes kadeudeuh

(ada yang singgah perasaan sayang)

sesah hilapna

(sulit melupakannya)

nyanding asih dina ati

(ada rasa sayang dalam hati)

duh sungkan patebih

(enggan berjauhan)

ayeuna urang ngahiji

(sekarang kita bersatu)

geus jadi batur sa ati

(menjadi teman sehati)

gemulung siang jeung wengi

(siang dan malam)

duh bagja nyanding asih

(bahagia merasakan cinta)

teu kaop teu tepang sadinten

(tidak bertemu sehari saja)

teu kawawa ku rasa kangen

(tidak tahan dengan rasa rindu)

teu benang dipapalerkeun

teu benang dibebenjokeun

 

Tiap denger lagu Sunda, rasanya nyesss kana hate. Apalagi kalo pas di perantauan gini dengerinnya. auto keinget kampung halaman deh...


Senin, 28 September 2020

Masih

Alhamdulillah, masih punya pekerjaan, sementara yang lain di luar sana banyak yang kehilangan, atau belum mendapat pekerjaan.

Alhamdulillah, masih diberi kesehatan. Di tengah pandemi, semakin terasa begitu berharganya kesehatan.

Alhamdulillah, Allah masih sayang... Masih diberi usia untuk memperbaiki diri...

Alhamdulillah, hari ini masih diberi kesempatan menghirup udaraNya dengan penuh kelapangan... 

Alhamdulillah, aku masih jadi bagian dari semesta...

Minggu, 27 September 2020

Memang sudah jalannya

15 tahun lalu, ditemani kakakku, aku menyusuri lorong sabuga ITB membawa selembar formulir pendaftaran SPMB. Di depan dan di belakangku mengular pendaftar lainnya. Yang aku yakin, sama-sama penuh harap, dan sama-sama cemas sepertiku.

Beberapa meter dari meja pendaftaran, pengantar tidak diperkenankan ikut. Aku yang kikuk, melanjutkan berjalan dalam antrian sambil mengamat-amati kertas yang tertulis namaku, serta kode jurusan Pendidikan Biologi UPI sebagai jurusan pertama, dan psikologi UPI di pilihan kedua.

Tinggal beberapa langkah lagi sampai di meja pendaftaran, tanpa sengaja aku membaca spanduk berisi pengumuman jurusan2 yang siswanya tidak boleh buta warna. Kedua jurusan yang aku pilih, masuk ke dalam daftar itu.

Diriku yang polos, saat itu ga sadar kalo itu hanya strategi marketing bagi penjual jasa tes buta warna. Dan diriku yang panik dihadpakan pada pilihan. Daftar ke jurusan2 pilihanku dengan risiko nanti didepak karena buta warna. Atau ganti jurusan yg aman tanpa syarat bebas buta warna.

Kok bisa-bisanya saat itu aku ga sadar kalo aku tu dari dulu sehat sehat aja matanya. Ga ada sedikitpun indikasi buta warna. Tapi namanya panik, aku jadi kayak kehilangan akal sehat.

Akhirnya aku balik kucing ke belakang antrian, mencari kakakku. Mau menanyakan pendapat dia. Tapi dicari2 ga ketemu. Makin panik lah. Di saat yang sama, ternyata kakakku mencari ke area meja pendaftaran, namun tidak menemukanku. Duh.

Masuk lagi lah ke meja pendaftaran. Tanpa fikir panjang, aku ganti pilihan jurusan. Fisika di pilihan pertama, dan matematika pilihan kedua. Semua di kampus UPI. Untuk kampus, aku memang tidak punya pilihan. Harus di kampus yang sama dengan kakakku, supaya nanti bapak tidak pusing menambah biaya kos untukku.

Singkat cerita, Aku lulus SPMB Pilihan pertama. Tapi hatiku ga pernah ada di fisika. Sejak SMP aku penggemar biologi. Sementara Fisika, musuh bebuyutan. 

Mungkin garis nasibku memang ga kuliah di UPI. Setelah persiapan Ospek, pengumuman STAN akhirnya keluar. Dan alhamdulillah aku lulus, walau hanya diploma I.

Kalo misalnya saat itu aku masuk jurusan biologi, aku akan dengan sangat yakin melepas STAN. Tapi berhubung keduanya bukan pilihan hati. Aku jadi bimbang. Lanjut kuliah di fisika, atau STAN? keduanya tidak ada yang benar-benar aku minati.
 
Setelah beberapa hari memikirkan, aku putuskan mengambil kuliah di STAN. Dengan pertimbangan supaya tidak teralu membebani bapak dengan biaya kuliah. STAN kan gratis. Dan kebetulan, tempat pedidikannya pun di Cimahi. Untuk tempat tinggal, aku dititipkan bapak di rumah salah satu temannya.

Dari sanalah semua bermula.

Ternyata, keluguanku saat itu mempertemukanku dengan keluarga baru. Ibu, bapak, kakak, ceuceu, Riri... Ketergesaanku mengubah pilihan adalah pembuka jalan aku bertemu jodoh. Dan Dari semua rentetan peristiwa itu. Aku mengenal teman-teman baik, kakak-kakak baru yang begitu mengayomi. Mbak K dan mbak V...

Sabtu, 26 September 2020

Prestasi?

Sedikit sekali pencapaian yang bisa aku banggakan. Tapi baru-baru ini, bolehlah aku berbangga diri karena bisa lolos salah satu ujian...

Namanya UPKP, Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat. Alhamdulillah, dapet kesempatan untuk ikut ujian ini. Karena, di instansi tempatku mengabdi, ujian ini tidak bisa diprediksi.

Jadi pernah beberapa tahun ke belakang, ujian ini sempat tidak diadakan. Sehingga para lulusan sarjana yang harus menunggu kenaikan pangkat reguler, tidak punya kesempatan melalui jalan pintas.

Alhamdulillah, taun lalu Ujian ini diselenggarakan lagi. Jadi aku bisa ikut mencicipi. Dan alhamdulillahnya lagi aku lulus...

Seneng banget bisa melewati ujian ini. Soalnya susah2.. dan buatku yang udah vakum lama dari dunia menjawab soal. Tantangan banget pastinya ikut ujian2 semacam ini..


Alhamdulillah. Bisa ternyata

Jumat, 25 September 2020

Kenang

Tidak banyak hal manis kujejaki untuk kuingat-ingat. Ada lebih banyak hal yang hanya sekedar aku lewati dan tidak ingin kutengok lagi.

Jadi, saat aku diminta untuk menuliskan memori paling indah untuk kubagi. Jujur, rasanya agak sulit.

Aku terpaksa menelusuri jalur memori. Menengok ke masa lalu untuk menggali-gali.

Tapi rasanya semua biasa saja, tak ada yang istimewa. Beberapa hambar, lainnya tawar. Malah kutemukan banyak getir.

Lantas, aku mengorek kembali. Apa betul tak ada yang manis sama sekali?

Sayangnya, satu kepahitan ternyata mampu membuang rasa manis yang tadinya ada. 

Getir pun menulari rasa lainnya. Sehingga semua terasa sama...

Aku bingung. Semakin kucari, makin tak kudapati. Dan rasa pahit kian menjadi. Membikin perih.

Ah, kusudahi saja membuang waktu mencari rasa manis yang mungkin sudah basi.

Aku buat saja memori baru. Sehingga nanti saat aku ditanya kembali kenangan manis apa yang paling kuingat. Aku bisa menjawabnya dengan senyum simpul, dan mata berbinar.

Saat itu aku bahagia, karena aku...

Kamis, 24 September 2020

Setiap Pagi

Beberapa menit di pagi hari, sebelum penghuni rumah yang lain terbangun. Waktu singkat, untuk aku dapat berpuas diri menikmati udara sejuk, dan hening yang menenangkan, sembari menunggu cahaya redup muncul malu-malu.

Rasanya menyenangkan, terjaga tanpa harus berjaga. Terkadang aku mengisi pagi yang penuh magis ini dengan kegiatan berguna. Namun tak jarang aku hanya terduduk diam di ujung tempat tidur. Memegang gawai, lalu menarik layar ke sana ke mari tak tentu arah.

Bukannya aku tidak suka bercengkrama dengan penghuni rumah lainnya. Namun, aku seringkali merindukan ketenangan, yang tak kudapati selain di pagi hari. Sebelum kesibukan monoton memerangkapku lagi dalam kejemuan. 

Rabu, 23 September 2020

Nyaman....

Aku mulai nyaman...
Berbicara pada dinding kamar
Aku takkan tenang, saat sehatku datang..

Bersyukur, aku masih belum se"tidak waras"itu sih... walau mungkin sedikit menyerempet ke arah sana.

Kapan dan di mana aku merasa nyaman?

Entahlah, sekarang rasanya aku menemukan kenyamanan setiap kali aku sendiri, menyepi. Kemudian aku punya waktu untuk berbicara kepada diriku sendiri. Tanpa ada yang menginterupsi.

Kadang, aku perlu menumpahkan isi kepalaku yang kebanyakan sampah itu. Hal-hal tidak penting. Keruwetan yang semakin hari semakin silang sengkarut. Masalah yang belum terselesaikan. Mimpi-mimpi aneh yang ingin sekali aku wujudkan. Atau hal-hal kecil yang bisa aku lakukan.

Isi kepalaku yang absurd itu, sesekali perlu untuk dikeluarkan. Maka dari itu, sering kali kumuntahkan. Kubisikkan pada diriku sendiri. Kusimak baik-baik, untuk kemudian kutelan kembali.  Karena rasanya teralu memalukan untuk kubagi dengan orang lain

Aku tidak bisa memutuskan dari semua itu mana yang paling membuatku nyaman. Kesendiriannya kah, atau kesempatan untuk membicarakan isi kepala dan hati.

Atau mungkin itu satu kesatuan.

Yang jelas, aku merasa nyaman ketika aku menyendiri dan  bebas berbicara pada diriku sendiri.


Selasa, 22 September 2020

Bapak

Beberapa hari ini, setiap kali teringat bapak, air mata tanpa terasa meleleh begitu saja. Merasa nelangsa, karena belum bisa pulang di saat bapak sedang sakit, jauh di sana di Sukabumi.

Yang menyesakkan adalah, aku belum bisa menemaninya, menghiburnya menjaganya. Kondisi belum memungkinkan untuk aku pulang saat ini, di tengah pandemi ini.

Aku bersyukur sekali, mempunyai sosok ayah seperti Bapak. Walau kadang beliau keras, tegas cenderung galak. Tapi tetap, bapak adalah sosok penyayang. Hatinya lembut dibalik sikapnya yang terkadang keras. Sekali waktu bapak memukul, kalau kami anak-anaknya tidak patuh atau susah diatur. Tapi beliau tidak sungkan menangis, memeluk kami ketika kami pulang setelah berpetualang jauh dari rumah.

Masih terbayang, bapak yang berdiri di ambang pintu dengan mata penuh marah. Ya, tentu saja karena ulahku sendiri. Biasanya karena pulang terlambat tanpa mengabari. Bagi bapak, pulang ke rumah sebelum magrib adalah wajib. Tidak ada yang boleh berkeliaran di malam hari. Kecuali jika memang ada keperluan penting. Atau ada acara yang memang harus kami hadiri.

Tapi, aku juga suka sering mendapati ekspresi bangga bapak ketika menceritakan kami kepada teman-temannya. Bapak membicarakan pencapaian kami, yang menurutku biasa saja ini dengan penuh semangat. berapi-api. Dan aku menikmatinya, walau kadang merasa pujian bapak terhadap kami terlalu berlebihan.

Namu, yang paling kurindukan adalah saat beliau memelukku... terasa sekali kasih sayang dalam peluk eratnya. Dalam sorot matanya yang berkaca-kaca karena air mata bahagia, ketika melihatku pulang ke rumah bersama suami dan anak-anak.

Aku sangat bersyukur mempunyai Bapak. Aku sangat bahagia menjadi putri Bapak.

Hampura abah.. Dede tacan tiasa ngapibagja Bapak Mamah...
Enggal damang... Dede sono pisan