Selasa, 27 Agustus 2013

layang-layang




Bulan ini, angin lebih kencang dari biasanya. Pohon nangka di depan rumah tak mau berhenti bergoyang, menggugurkan daun-daunnya hingga berserakan di halaman. Kata ibu, karena halaman rumah dan pekarangan ini luas, pekerjaan menyapu harus dikerjakan oleh laki-laki. Makanya nanti aku yang pasti bertugas menyapu semua dedaunan ini hingga bersih di subuh hari, kemudian siang sampai sore dipenuhinya lagi. Lalu disapu lagi dipagi hari, lalu dipenuhi dedaunan lagi, begitu terus setiap hari.

Sementara kakak-kakak perempuanku sibuk di teras rumah dengan bekelnya, aku larut bersama anak-anak lelaki lainnya di lapangan. Tentunya aku tidak mau menyia-nyiakan kunjungan si angin kencang. Buat apa lagi kalau bukan untuk bermain layang layang. Biar kata sudah berseragam putih abu, aku tidak mau ketinggalan.

Urusan main layang-layang ini, aku jagonya. Tengok saja, layang-layangku paling tinggi di bandin teman yang lain. Menikmati angin yang menerpa wajah, sambil mengendalikan layang-layangku yang terbang ke sana kemari. Tadi, sudah 3 lawan yang jatuh. Cukup untuk sore ini. Sekarang aku mau bermain sendiri saja, menjauh dari layang-layang yang lain.

"yaaaaah.. Kalah lagi" seru seorang anak di belakangku. Disusul teriakan riuh "kejaaar" dan para bocahpun berlarian mengejar layang-layang yang terbang gontai tanpa tali. Jatuh. Biasanya saling sikut tak terelakkan. Mereka berlarian di sekitar lapangan, memasuki kampung. Kalau perlu, mereka akan memanjat tiang-tiang, pohon-pohon, bahkan rumah-rumah tetangga. Tak jarang sampai ada yang terluka. Demi rasa puas mendapat selembar layang layang.

Ternyata, layang-layang yang tersisa tinggal dua saja, milikku dan yang baru saja menjadi pemenang. Di ujung utara lapangan, seorang anak sibuk mengulur gelasan. Mengarahkan layang-layangnya ke arahku. Sepertinya masih bocah ingusan kalau dilihat dari badan kecilnya.

Anak-anak yang tadi ikut berlarian sudah kembali memenuhi lapangan, satu orang sudah mendapatkan layang-layang, dia tertawa tawa dengan kertas segi empat kuning di tangannya. Yang lain sudah asik menonton duelku dengan anak kecil tadi. Aku tidak mengenalnya. Sepertinya bukan dari kampung kami. Jaraknya juga cukup jauh untukku bisa mengenali wajahnya lebih seksama.

"ayooo.. Jangan mau kalah." teriak mereka riuh di belakangku

Aku tenang menarik ulur gelasan di tanganku. Arah angin sedang berpihak padaku. Si layang-layang biru sudah mendekat, meliuk liuk mencari kesempatan menjatuhkanku.

Aku tidak pernah kalah. Sudah kubilang aku jagonya. Menantangku berarti bersiap untuk menjatuhkan layang-layang miliknya. Aku tersenyum. Anak ingusan tadi, entah, wajahnya tak terlihat jelas. Mungkin dia cemas.

Hampir sepuluh menit layang-layang kami beradu di angkasa. Sorak sorai semakin riuh. Ini pertandingan adu kuat yang cukup lama. Biasanya tak sampai dua menit, sabetan maut langsung memutus tali layang-layang lawan. Tapi si anak ingusan ini sulit juga dikalahkan.

Layang-layang musuh meliuk lagi di atasku, aku segera menarik gelasanku. Dan seettt.. Satu sabetan telah menjatuhkan sebuah layang-layang.. aku tersenyum puas, lalu menarik benang di tanganku yang tiba tiba terasa ringan.. aku mulai panik. Ooh.. Tidak, aku melihat layang-layang merahku terjun bebas di udara. Diiringi teriakan KEJAAARR dan lomba adu cepat bocah-bocah. Layang-layang biru masih asik menari. Melenggak-lenggok seolah mengejekku dengan tariannya. Terbang semakin rendah.

Aku mencelos. Kali ini aku kalah. Tergesa aku rapikan gelasan dan gulunganku, kemudian berlari ke arah anak ingusan tadi.

"hei.. " teriakku

Dia menoleh, dan ASTAGA.. Jantungku tiba tiba serasa berhenti.

Dia menatapku. Dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan. Ujung matanya menancap tepat di jantungku. Dia bahkan tidak tersenyum. Matanya menyelidik, seolah olah dia menelanjangiku dengan tatapannya.

"kamu...perempuan?" aku beku. Kakiku tidak mampu melangkah lebih dekat. Bocah ini tidak sampai setinggi daguku, tapi matanya, aku tak pernah melihat mata seperti mata miliknya sebelum ini. Tajam, menusuk. Usianya mungkin baru duabelas, atau tigabelas.

"iya, kenapa?" dia mencabut ujung matanya dari jantungku, mengawasi layang layang biru di udara. Aku bernafas lega. Lepas dari tatapan mautnya

"kamu mengalahkanku" kataku akhirnya

Dia menarik layang-layangnya. Menurunkannya dari langit yang sudah jingga. Sebentar lagi magrib datang. Dia bersiap pulang, kurasa.

"kamu tidak terima kalah, karena aku perempuan?" dia menggulung gelasan dengan cekatan. Merapikan layang-layang biru yang menjatuhkan layang-layangku. Kemudian mengulurkannya padaku

"kau boleh ambil kalau mau" aku ragu, tapi aku ambil juga layang-layang dari tangannya. Kali ini Senyumnya yang membekukanku, matanya yang tajam berganti mata teduh menyejukkan. Angin kencang memainkan anak rambutnya yang lepas dari ikatan. Membuatku semakin terpana. Dan saat semua kesadaran kembali padaku, dia sudah berlalu. Meninggalkan layang-layangnya di tanganku, dan membawa hatiku terbang bersamanya.
                                                                                                               

*thanks to ibek, buat gambarnya