Senin, 19 Oktober 2020

Gadis Senja

Aku sering melihatnya di persimpangan, hampir setiap hari sebelum birunya langit memudar. Wajah bulatnya terlihat mempesona disirami cahaya senja. Entah mengapa, aku begitu menikmati setiap momen dia berjalan menjauh menuju arah matahari terbenam.

Gadis itu, biasanya turun dari bis kota sekitar jam setengah enam sore di halte sebrang jalan. Waktu itu, aku dikagetkan oleh suara decit ban motor yang tiba2 berhenti. Saat aku menoleh, aku melihat dia berdiri kikuk karena hampir tertabrak.

Wajahnya pias, begitupun aku. Kami sama-sama terkejut. Setelah kejadian itu, matanya yang tajam selalu mengawasi lampu lalu lintas. Setelah kejadian itu pula, aku setiap hari mendatangi cafe ini. Duduk menanti agar aku bisa melihatnya lagi.

Dia tidak terlalu cantik. Bentuk wajahnya bulat cenderung tembam. Dibingkai rambut lurus sebahu yang seringkali dia biarkan terurai. Namun pernah sekali waktu dia mengikat rambutnya tinggi seperti ekor kuda. Menambah kesan kekanakan pada wajahnya.

Hari ini, dia tidak ada di antara para penumpang yang turun di halte. Sebetulnya, ini bukan pertama kali terjadi. Tapi entah mengapa, kali ini aku dibuatnya gelisah. Aku sudah mengumpulkan keberanian untuk menghampirinya. Sejak pagi aku menantikan saat-saat senja tiba untuk menemuinya.

Langit begitu gelap, awan hitam bisa saja menumpahkan hujan deras sewaktu-waktu. Cappucino yang kupesan sudah hampir dingin. Namun belum juga kusentuh. Sudah dua bis berlalu dan tak kutemui juga wajah bulat itu. Rasa cemasku semakin menjadi.

Senja sudah lama berlalu. Hujan turun diselingi petir menyambar-nyambar. Bis berikutnya berhenti. Aku menghela nafas lega. Saat kulihat wajah yang kunantikan itu berdiri di bawah naungan halte. Menunggu hujan reda.

Sudah hampir tiga bulan aku menimbang-nimbang untuk menghampirinya. Dan kurasa ini saat yang paling tepat.

Kedua kakiku melangkah gamang. Jantungku bergemuruh hebat seperti guntur yang bersahutan di langit malam. Aku khawatir dengan reaksinya bila tiba-tiba melihatku lagi. Akankah dia pergi?

Jarakku dengannya semakin dekat. Dia masih belum menyadari kedatanganku hingga saat aku berdiri di depannya. Air hujam menetes-netes dari ujung payungku. Dengan ragu, kuulaskan senyum untuknya.

Walau dalam keremangan lampu jalanan, aku bisa melihat wajah bulat itu dengan jelas. Sekilas, aku melihat keterkejutan, namun segera ia tutupi. Manik matanya, seperti dulu, mampu menembus sisi terdalam diriku. Dan aku semakin cemas. Apa yang saat ini dia fikirkan?


#30dwcjilid26

#DAY3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar